Krisis moral, atau dapat disebut sebagai sikap apatis, merupakan sebuah sikap yang tidak memperdulikan dengan pergolakan dan berbagai permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Sikap yang sepertinya telah tertanam di dalam hati dan jiwa hampir seluruh rakyat Indonesia pada saat ini. Seperti mereka menutup mata, memalingkan wajah, dan berkata pada dirinya sendiri, “hal ini tidak akan memberikan dampak apapun pada hidupku.”
Dante Alighieri, seorang negarawan dan seniman asal Italia, pada abad pertengahan-pun telah memberikan analogi tentang apa yang akan terjadi pada manusia yang tetap bersikap netral atau apatis dalam setiap pergolakan dan permasalahan yang sedang terjadi. Dante menganalogikan “nereka tergelap” sebagai dampak yang terjadi apabila manusia tetap mempertahankan sikap netral dan ketidakpeduliannya, hancurnya tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat, hingga kemungkinan terburuk: berkuasanya para iblis berwujud manusia yang memiliki keserakahan untuk memiliki dan meguasai segalanya.
Perkataan Dante menunjukan kebenarannya pada sekarang ini, di republik tercinta: Indonesia. Ketika telah terjadi berbagai permasalahan yang melibatkan petinggi negeri ini, masyarakat tetap bersikap tak acuh dan lebih memilih untuk tidak peduli, kemudian menganggap hal tersebut tidak pernah terjadi. Tragedi Trisakti, Pembunuhan Munir, dan permasalahan Century, itu adalah segelintir permasalahan yang telah banyak rakyat Indonesia melupakannya. Hanya para aktivis kemanusiaan dan orang-orang yang terlibat secara langsung yang tetap mencari dan memperjuangkan apa yang disebut dengan keadilan. Walaupun para penguasa yang memiliki kepentingan tetap mencoba menanamkan sugesti kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa itu hanyalah permasalahan yang sepele, dan akhirnya, membuat permasalahan tersebut tenggelam dan hilang di dalam aliran waktu.
Kelompok masyarakat apatis ini tidak mengerti konsekuensi dari sikap dan perbuatan mereka sendiri. Sikap mereka yang seperti itu memberikan jalan kepada para manusia serakah berkepentingan untuk menancapkan taringnya lebih dalam di leher bangsa kita yang tercinta ini. Kehancuran sebuah negara tidak akan dapat dihindari lagi ketika para rakyatnya tidak peduli dengan pergolakan yang sedang terjadi di negaranya sendiri.
Mahasiswa, yang dianggap sebagai para pemikir yang kritis dan memiliki idealisme, pada saat ini hanya menjadi penghafal buku dan pemburu IPK (Indeks Prestasi Komulatif). Mayoritas para mahasiswa saat ini tidak memiliki kepakaan tentang apa yang sedang terjadi di dalam masyarakat atau di lingkungannya. Mereka hanya berpikir bagaimana menyelesaikan pendidikannya di bangku perkuliahan, menjadi sarjana, dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar.
Mayoritas para mahasiswa pada saat ini bersikap apatis dengan apa yang sedang terjadi disekitarnya. Bahkan ketika terjadi sebuah permasalahan, para mahasiswa apatis ini hanya mencibir dan menjadikannya lelucon tanpa mengerti apa yang sedang terjadi dan apa akibatnya kepada bangsa ini.
Ketika segelintir mahasiswa yang masih memiliki kepedulian terhadap bangsa ini, mencoba untuk menyuarakan aspirasi dan kebenaran, walaupun tidak sedikit rekan mereka sesama mahasiswa yang mencibir perbuatan mereka. Namun, mereka tetap berusaha untuk memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi mereka. Dengan harapan, apa yang telah mereka lakukan dapat mengubah keadaan dan merubah pemikiran kaum apatis ini. Kelompok apatis ini tidak mengerti, bahwa apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa yang mereka sebut sebagai “pemberontak” adalah demi tegaknya keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya. Bukan hanya kebeneran yang dimonopoli oleh para penguasa berkepentingan dan hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan pribadinya. Kebenaran dan keadilan sejati didapatkan ketika tidak adanya kepentingan pihak tertentu.
Pada tahun 1998, para mahasiswa bersatu dan menjadi garda terdepan untuk mengeluarkan aspirasi dan mengeluarkan bangsa ini dari genggaman kekuasaan 35 tahun Rezim Soeharto. Tidak peduli tentang siapa mereka ataupun apa latar belakang mereka, para mahasiswa pada saat itu hanya memiliki satu tujuan: terbebas dari belenggu kediktatoran.
Pada saat itu, para mahasiswa benar-benar kritis dan memiliki tekad kuat serta ingin mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Berbeda dengan saat ini, ketika dinasti korupsi makin menancapkan akarnya di negeri ini, para mahasiswa ini menutup mata, atau mungkin benar-benar telah buta.
Indonesia, sebuah negara yang plural, dengan berbagai etnis, suku, dan budaya. Terbentang dari Sabang sampai Merauke. Memiliki banyak pemikir hebat di masa lalu. Namun pada saat ini hanya dipenuhi dengan orang-orang yang bahkan tidak peduli dengan keadaan di lingkungan sekitarnya sendiri. Contoh sederhananya, di masa lalu apabila terjadi kebakaran rumah di suatu desa atau perkampungan, maka semua orang seakan-akan memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama memadamkan api di rumah tersebut. Namun pada saat ini, apabila situasi yang sama terjadi, bukannya bersama-sama saling membantu untuk memadamkan api, mereka malah sibuk mengabadikan momen tersebut dengan selfie bersama kobaran api itu.
Sifat apatis yang telah berubah menjadi budaya ini harus segera diperbaiki secepatnya. Dengan memberikan pendidikan tentang peduli dengan lingkungan dan peduli terhadap apa yang sedang terjadi pada bangsa ini. Setiap orang harus memiliki sikap dan perhatian yang kritis agar dapat mengawal negara ini dalam jalan menuju kemajuan. Serta dapat mengawasi setiap kebijakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Apabila hal ini dapat berjalan baik, dengan menghilangkan sikap apatis dan memiliki kepedulian dengan apa yang terjadi pada lingkungan sekitar dan bangsa ini, maka bangsa ini akan melaju dengan pesat di atas rel menuju kesejahteraan serta kedamaian yang sesungguhnya akan benar-benar tercipta. Bukan hanya sekedar kedamaian semu yang diciptakan oleh para orang yang memiliki kepentingan. Perlu kita renungkan, Adolf Hitler mengingatkan, “beruntunglah para penguasa bila rakyat tidak bersikap kritis.”
Mahasiswa Universitas Andalas