
Pict by : .kidsklik.com
bembsi.org - Segerombolan
burung pipit membuat barisan di dahan pohon jati. Meniru barisan para tentara
yang berbaris di lapangan batalion. Berbisik dan bercengkrama seolah ikut menertawakan
kehidupan keluarga dalam gubuk tua di kaki bukit itu. Suaranya melengking
sehingga mengusik tidur seorang gadis remaja di gubuk itu.
“Oh
Tuhan!, sudah jam satu siang.” Siti berjingkrak turun dari dipannya.
Dihantui
rasa terburu-buru aku berkemas dan menemui wanita yang duduk beristirahat di
samping rumah. Dia ibuku yang makin renta. Aku merasa iba melihat ibu menjadi
tulang punggung keluarga semenjak ayah meninggal lima tahun lalu. Tanpa dia aku
tidak akan mungkin bisa kuliah di salah satu universitas ternama di Padang. Semangat
yang begitu membara bekerja, dengan menjual tenaganya sebagai seorang petani,
di temani cuaca panas dan di payungi sang surya. Aku juga ikut bekerja sambil
kuliah tanpa sepengetahuan ibu, untuk membantu perekonomian kami. Aku mendekati
ibu dan berpamitan untuk berangkat kuliah.
“Ibu
maafkan aku, sebab aku tidak membantu ibu bekerja?”
“Tidak
apa-apa nak, kerjamu hanya belajar dan menjadi kebanggan ibu dan ayah serta
orang banyak.” ujar ibu yang menyimpan setitik air di balik pelupuk mata yang
tak ingin aku ketahui bahwa dia sedang menangis.
“Aku
pamit bu?” kataku sambil menyalami tangannya.
Aku
berjalan meninggalkan ibu yang sekarang menjadi satu-satunya penghuni di gubuk
itu. Gubuk yang cukup jauh terpisah dari rumah warga yang lain. Orang-orang sekitar
menyebut rumahku dengan sebutan gubuk, sebab rumahku yang hanya berkerangka
bambu, beratap daun sagu, dan berdinding anyaman bambu. Meskipun sebuah gubuk
tetapi kami bahagia bersemayam bertahun-tahun di dalamnya.
Aku
berjalan ditemani langkah kaki. Melewati parit sawah luas, milik Pak Umar,
orang kaya yang membeli tenaga ibu untuk menanami benih di sawahnya. Tak jauh
dari sawah terlihat rumah-rumah bagus dan diantaranya rumah bertingkat dengan
penghuninya bersantai di teras rumah yang bagaikan istana bagiku. Di depan
rumah bertingkat itu aku berhenti karena di panggil Ibu Leni.
“Siti,
mau pergi kuliah kamu ya? ” katanya.
“Iya
bu, saya mau pergi kuliah.” Ujarku.
“Ternyata
kamu bisa kuliah juga ya, lebih baik kamu membantu ibumu menanami benih padi di
sawah kami, buat apa kuliah nanti kerjamu juga di dapur dan tetap tinggal di
gubuk.” katanya sambil menunjuk rumuhku yang jauh disana.
Kata-kata
Ibu Leni seolah mengkoyak hati dan perasaanku. “Maaf bu, saya permisi mau kuliah.”
kataku pergi dengan perasaan yang hancur.
Aku
terus berjalan dan menaiki bus di tepi jalan besar. Dalam perjalanan terlintas
kata-kata Ibu Leni yang menghujam hatiku. “Sudah sampai, turun dimana dek?” kata
kondektur.
Panggilan
kondektur bus membangunkanku dari lamunan yang menyakitkan itu. Aku meloneh
kanan–kiri, lalu turun. Kampusku tidak jauh dari terminal, sehingga aku bisa
berjalan kesana.
***
Aku
adalah mahasiswi yang mendapat beasiswa dari kampus, karena aku berprestasi,
kreatif, dan super aktif di bidang kuliah maupun di bagian organisasi. Sehingga
banyak teman-teman kampus yang senang denganku. Mereka suka pribadiku yang
tidak sombong dan selalu ramah kepada siapapun. Itu semua adalah ungkapan
teman-teman yang menilai diriku.Sekarang ini perkulihanku sudah memasuki semester
lima. Ketika itu kami diberikan tugas kelompok dari dosen, salah satu temanku
memberi usul untuk belajar di rumahku.
“Bagaimana
kita belajar kelompoknya di rumah Siti saja, ada yang setuju gak?” kata Ayu
yang mengusulkan.
“Setuju!”
kata Doni dan Putra bersahutan.
“Iya,
sudah lama kita berteman, cuma rumah Siti saja yang belum pernah kita kunjungi.”
kata Dinda menyambung.
“Kamu
setujukan Siti?” tanya Ayu.
Aku
tersentak dan berhenti membaca buku saat Ayu bertanya kepadaku.
“Hmm,
tetapi rumahku jelek, kecil, dan untuk sampai kesana harus melewati sawah,
mungkin tidak cocok untuk kalian yang belum pernah ke sawah.”
“Itu
tidak masalah, malahan bagi kami di kampung itu lebih enak karena alamnya yang
masih hijau dan asri.” kata Doni meyakinkan.
“Ok,
aku setuju.”
“Terima
kasih Siti.” kata Ayu dan Dinda langsung memelukku.
Puluhan
burung pipit berhamburan keluar dari tengah hamparan padi yang menguning. Terusik oleh suara langkah lima remaja
di parit sawah itu. Mereka mengepak sayap dan mengapung di udara, seolah
berceloteh marah, telah menggangu rencana pencurian bulir-bulir padi Pak Umar
yang sedang montok.
“Wah
sungguh indah pemandangan disini ya ti?” kata doni melihat kanan-kiri.
Aku
hanya tersenyum. Sampai di rumahku teman-teman masih terpengaruh oleh aroma
kayu jati dan terhipnotis oleh aura alam yang damai dan sejuk.
“Kita
belajar dimana?” tanyaku.
“Di
luar saja ti, disini kita lebih leluasa menikmati keindahan alam.” kata putra
yang mulai terkantuk-kantuk di bawah pohon jambu.
Aku
membentangi tikar pandan di bawah pohon jambu dan menghidangkan roti yang aku
beli di warung sepulang dari kampus. Ayu dan Dinda sibuk mengeluarkan buku dari tasnya, sedangkan Doni dan Putra asyik
tidur dan bersandar di pohon jambu sambil menikmati angin siang yang membelai
mereka. Dinda yang telah selesai mengeluarkan buku dari tas kembali memandangi
alam di sekitar gubukku, dan melemparkan pandangnanya kepadaku.
“Siti,
kamu seolah menjadi mutiara penghuni gubuk tua ini. Mengeluarkan cahaya
keindahan dari dalam gubuk dan menyebarkannya keseluruh alam, bahkan keindahan
dan cayaha itu kami rasakan sampai ke kampus kita.” kata Dinda memuji.
“Kamu
terlalu memuji Dinda.”
“Itu
bukan sekedar pujian ti, tetapi kenyataan, kamu itu mengajarikan kami untuk
mensyukuri yang telah ada, kamu tidak pernah malu punya rumah seperti gubuk,
kamu yang hanya menjadi mutiara biasa dalam gubuk ini, tetapi nanti akan
menjadi mutiara yang luar biasa dan bercayaha di luar sana.” Ujar Dinda.
Aku
hanya tersenyum mendengar kata-kata Dinda. Doni yang berteriak dan berjingkrak
berdiri dari tidurnya menghentikan percakapan aku dan Dindan. Dan beberapa
pasang mata tertuju kepada Doni yang berdiri. Kami semua tertawa terkekeh
melihat wajahnya dikenai tahi burung pipit yang bertengger di pohon jambu .
Setelah beberapa lama istirahat, kami mulai belajar kelompok dengan menyantap
roti yang telah di hidangkan.
***
Burung-burung terbang mengepak
sayap, mengapung berjam-jam lamanya. Melintasi cakrawala dunia dengan sorak
bahagia. Suara katak di belakang gubuk
ribut seolah memberikan ucapan selamat bergantian kepada mutiara di
dalam gubuk tua itu.
Keributan hewan-hewan pagi
membangunkan aku dari tidurku. Ibu telah bersiap-siap dengan pakaian terbaiknya.
Aku senang melihat ibu tersenyum bahagia. Tak kalah bahagia, aku mandi dan
bersiap-siap memakai baju terbaikku juga, yang akan di selimuti jubah hitam di
dampingi warna kuning dan hijau di tepinya, serta di kepalaku siap berdiri toga
yang selama ini aku impikan.
Perjalanan yang bergelombang dan
berliku-liku mengantarkan aku ke gerbang kesuksesan untuk medapat gelar Sarjana
Ekonomi. Kampusku sibuk mengurus wisuda yang akan di mulai sebentar lagi.
teman-temanku akan hadir saat aku di wisuda nanti. Di antara mereka hanya aku
yang wisuda di semester ini, mungkin mereka akan menyusulku di semester besok.
Suasana hening seketika, acara
wisuda akan segera di mulai. Saatnya pemasangan toga oleh Dekan dari
Fakuktasku. Disana jantungku berdebar kencang bagaikan di kejar ribuan panah.
Karena aku akan menjadi perwakilan dari tiga ratus lebih mahasiswa yang wisuda
hari itu. Badanku gemetar ketika toga sudah berada di kepala, dengan disaksikan
ratusan pasang mata.
Pemasangan toga telah selesai, Dekan
menyerahkan sebuah amplop kepadaku.
“Siti Fatimah, kami bangga mempunyai
mahasiswi yang pintar, kreatif dan super aktif selain itu juga banyak meraih
berbagai prestasi. Dengan prestasi yang begitu banyak, membuat kamu terkenal di
luar sana dan mengharumkan nama universitas ini, dan kamu setelah ini di jamin
bisa bekerja di salah satu perusahaan
terkenal di Indonesia. Perusahaan itu telah melihat hasil kerja kamu
yang sempurna selama kamu menjalankan KKN di kantor cabangnya. Selamat Siti?”
kata Dekan panjang lebar dan menyerahkan sebuah amplop berisi surat dari
perusahaan tersebut.
Aku seolah melayang bukan main,
kebahagian saat itu tidak bisa aku gambarkan. Aku menangis bahagia dan bersujud
syukur di depan semua orang. Mengucapkan terima kasih kepada Dekan dengan air
mata yang berjatuhan. Aku pandangi ibu yang duduk jauh di ujung sana, tubuhnya
yang sudah begitu renta di basahi oleh air mata bahagia.
Acara wisuda saat itu sudah usai.
Ibu memelukku begitu erat, jantung ibu bertedak kenjang, menggambarkan
kebanggannya kepadaku. Sungguh takku duga kebahagiaan ini datang bertubi-tubi. Teman-temanku
datang ikut memeluk dan memberi selamat kepadaku.
“Apa
kataku, kamu itu memeng mutiara gubuk tua siti, bukan hanya di gubuk tua tetapi
mutiara untuk semua orang. selamat ya Siti?” kata Dinda sambil memelukku.
Aku
tersenyum dan bahagia mempunyai sahabat sebaik mereka. Aku mengajak ibu dan
teman-temanku foto bersama, sebagai sebuah kenang-kenangan.
***
Aku pulang dengan perasaan bangga
dengan membimbing ibu yang sudah letih menemaniku saat acawa wisuda. Kami
berdua melewati rumah Ibu Leni yang pernah mencabik hati dan persaanku dengan
kata-katanya. Semua kata itu menjadi cambuk bagiku untuk menjadi sukses sampai
saat ini.
Semenjak aku bekerja di perusahaan
itu, aku tidak izinkan ibu bekerja lagi. Dia aku perlakukan bagaikan seorang
ratu. Dengan uang hasil pekerjaanku, gubuk tua yang dulu, aku ganti dengan
rumah yang tak jauh berbeda dari rumah yang berbaris di pinggir jalan sana,
meskipun aku belum bisa memiliki istana yang sebagus milik Pak Umar.
Rumah yang tidak jauh dari tempatku sudah
sunyi, dan mereka hadir di alam mimpi masing-masing. Aku masih duduk di teras
rumah di temani lolongan hewan malam. Terlintas sebuah kata-kata dari sahabatku
Dinda, bahwa aku adalah mutiara gubuk tua. Meskipun gubuk tua itu telah hilang
dan berganti menjadi rumah yang lebih bagus, tetapi aku tetap menjadi mutiara
gubuk tua bagi ibu dan ayahku serta orang di luar sana.(*)
Oleh :
HARISA IRMA FRANNANDA
Kuranji - PADANG
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik