Mutiara di Gubuk Tua

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2011/02/12978507301727845226.jpg 
Pict by : .kidsklik.com
bembsi.org - Segerombolan burung pipit membuat barisan di dahan pohon jati. Meniru barisan para tentara yang berbaris di lapangan batalion. Berbisik dan bercengkrama seolah ikut menertawakan kehidupan keluarga dalam gubuk tua di kaki bukit itu. Suaranya melengking sehingga mengusik tidur seorang gadis remaja di gubuk itu.
“Oh Tuhan!, sudah jam satu siang.” Siti berjingkrak turun dari dipannya.
Dihantui rasa terburu-buru aku berkemas dan menemui wanita yang duduk beristirahat di samping rumah. Dia ibuku yang makin renta. Aku merasa iba melihat ibu menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayah meninggal lima tahun lalu. Tanpa dia aku tidak akan mungkin bisa kuliah di salah satu universitas ternama di Padang. Semangat yang begitu membara bekerja, dengan menjual tenaganya sebagai seorang petani, di temani cuaca panas dan di payungi sang surya. Aku juga ikut bekerja sambil kuliah tanpa sepengetahuan ibu, untuk membantu perekonomian kami. Aku mendekati ibu dan berpamitan untuk berangkat kuliah.
“Ibu maafkan aku, sebab aku tidak membantu ibu bekerja?”
“Tidak apa-apa nak, kerjamu hanya belajar dan menjadi kebanggan ibu dan ayah serta orang banyak.” ujar ibu yang menyimpan setitik air di balik pelupuk mata yang tak ingin aku ketahui bahwa dia sedang menangis.
“Aku pamit bu?” kataku sambil menyalami tangannya.
Aku berjalan meninggalkan ibu yang sekarang menjadi satu-satunya penghuni di gubuk itu. Gubuk yang cukup jauh terpisah dari rumah warga yang lain. Orang-orang sekitar menyebut rumahku dengan sebutan gubuk, sebab rumahku yang hanya berkerangka bambu, beratap daun sagu, dan berdinding anyaman bambu. Meskipun sebuah gubuk tetapi kami bahagia bersemayam bertahun-tahun di dalamnya.
Aku berjalan ditemani langkah kaki. Melewati parit sawah luas, milik Pak Umar, orang kaya yang membeli tenaga ibu untuk menanami benih di sawahnya. Tak jauh dari sawah terlihat rumah-rumah bagus dan diantaranya rumah bertingkat dengan penghuninya bersantai di teras rumah yang bagaikan istana bagiku. Di depan rumah bertingkat itu aku berhenti karena di panggil Ibu Leni.
“Siti, mau pergi kuliah kamu ya? ” katanya.
“Iya bu, saya mau pergi kuliah.” Ujarku.
“Ternyata kamu bisa kuliah juga ya, lebih baik kamu membantu ibumu menanami benih padi di sawah kami, buat apa kuliah nanti kerjamu juga di dapur dan tetap tinggal di gubuk.” katanya sambil menunjuk rumuhku yang jauh disana.
Kata-kata Ibu Leni seolah mengkoyak hati dan perasaanku. “Maaf bu, saya permisi mau kuliah.” kataku pergi dengan perasaan yang hancur.
Aku terus berjalan dan menaiki bus di tepi jalan besar. Dalam perjalanan terlintas kata-kata Ibu Leni yang menghujam hatiku. “Sudah sampai, turun dimana dek?” kata kondektur.
Panggilan kondektur bus membangunkanku dari lamunan yang menyakitkan itu. Aku meloneh kanan–kiri, lalu turun. Kampusku tidak jauh dari terminal, sehingga aku bisa berjalan kesana.  
***
Aku adalah mahasiswi yang mendapat beasiswa dari kampus, karena aku berprestasi, kreatif, dan super aktif di bidang kuliah maupun di bagian organisasi. Sehingga banyak teman-teman kampus yang senang denganku. Mereka suka pribadiku yang tidak sombong dan selalu ramah kepada siapapun. Itu semua adalah ungkapan teman-teman yang menilai diriku.Sekarang ini perkulihanku sudah memasuki semester lima. Ketika itu kami diberikan tugas kelompok dari dosen, salah satu temanku memberi usul untuk belajar di rumahku.
“Bagaimana kita belajar kelompoknya di rumah Siti saja, ada yang setuju gak?” kata Ayu yang mengusulkan.
“Setuju!” kata Doni dan Putra bersahutan.
“Iya, sudah lama kita berteman, cuma rumah Siti saja yang belum pernah kita kunjungi.” kata Dinda menyambung.
“Kamu setujukan Siti?” tanya Ayu.
Aku tersentak dan berhenti membaca buku saat Ayu bertanya kepadaku.
“Hmm, tetapi rumahku jelek, kecil, dan untuk sampai kesana harus melewati sawah, mungkin tidak cocok untuk kalian yang belum pernah ke sawah.”
“Itu tidak masalah, malahan bagi kami di kampung itu lebih enak karena alamnya yang masih hijau dan asri.” kata Doni meyakinkan.
“Ok, aku setuju.”
“Terima kasih Siti.” kata Ayu dan Dinda langsung memelukku.
Puluhan burung pipit berhamburan keluar dari tengah hamparan padi yang  menguning. Terusik oleh suara langkah lima remaja di parit sawah itu. Mereka mengepak sayap dan mengapung di udara, seolah berceloteh marah, telah menggangu rencana pencurian bulir-bulir padi Pak Umar yang sedang montok.
“Wah sungguh indah pemandangan disini ya ti?” kata doni melihat kanan-kiri.
Aku hanya tersenyum. Sampai di rumahku teman-teman masih terpengaruh oleh aroma kayu jati dan terhipnotis oleh aura alam yang damai dan sejuk.
“Kita belajar dimana?” tanyaku.
“Di luar saja ti, disini kita lebih leluasa menikmati keindahan alam.” kata putra yang mulai terkantuk-kantuk di bawah pohon jambu.
Aku membentangi tikar pandan di bawah pohon jambu dan menghidangkan roti yang aku beli di warung sepulang dari kampus. Ayu dan Dinda sibuk mengeluarkan buku  dari tasnya, sedangkan Doni dan Putra asyik tidur dan bersandar di pohon jambu sambil menikmati angin siang yang membelai mereka. Dinda yang telah selesai mengeluarkan buku dari tas kembali memandangi alam di sekitar gubukku, dan melemparkan pandangnanya kepadaku.
“Siti, kamu seolah menjadi mutiara penghuni gubuk tua ini. Mengeluarkan cahaya keindahan dari dalam gubuk dan menyebarkannya keseluruh alam, bahkan keindahan dan cayaha itu kami rasakan sampai ke kampus kita.” kata Dinda memuji. 
“Kamu terlalu memuji Dinda.”
“Itu bukan sekedar pujian ti, tetapi kenyataan, kamu itu mengajarikan kami untuk mensyukuri yang telah ada, kamu tidak pernah malu punya rumah seperti gubuk, kamu yang hanya menjadi mutiara biasa dalam gubuk ini, tetapi nanti akan menjadi mutiara yang luar biasa dan bercayaha di luar sana.” Ujar Dinda.
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Dinda. Doni yang berteriak dan berjingkrak berdiri dari tidurnya menghentikan percakapan aku dan Dindan. Dan beberapa pasang mata tertuju kepada Doni yang berdiri. Kami semua tertawa terkekeh melihat wajahnya dikenai tahi burung pipit yang bertengger di pohon jambu . Setelah beberapa lama istirahat, kami mulai belajar kelompok dengan menyantap roti yang telah di hidangkan.
***
            Burung-burung terbang mengepak sayap, mengapung berjam-jam lamanya. Melintasi cakrawala dunia dengan sorak bahagia. Suara katak di belakang gubuk  ribut seolah memberikan ucapan selamat bergantian kepada mutiara di dalam gubuk tua itu.
            Keributan hewan-hewan pagi membangunkan aku dari tidurku. Ibu telah bersiap-siap dengan pakaian terbaiknya. Aku senang melihat ibu tersenyum bahagia. Tak kalah bahagia, aku mandi dan bersiap-siap memakai baju terbaikku juga, yang akan di selimuti jubah hitam di dampingi warna kuning dan hijau di tepinya, serta di kepalaku siap berdiri toga yang selama ini aku impikan.
            Perjalanan yang bergelombang dan berliku-liku mengantarkan aku ke gerbang kesuksesan untuk medapat gelar Sarjana Ekonomi. Kampusku sibuk mengurus wisuda yang akan di mulai sebentar lagi. teman-temanku akan hadir saat aku di wisuda nanti. Di antara mereka hanya aku yang wisuda di semester ini, mungkin mereka akan menyusulku di semester besok.
            Suasana hening seketika, acara wisuda akan segera di mulai. Saatnya pemasangan toga oleh Dekan dari Fakuktasku. Disana jantungku berdebar kencang bagaikan di kejar ribuan panah. Karena aku akan menjadi perwakilan dari tiga ratus lebih mahasiswa yang wisuda hari itu. Badanku gemetar ketika toga sudah berada di kepala, dengan disaksikan ratusan pasang mata.
            Pemasangan toga telah selesai, Dekan menyerahkan sebuah amplop kepadaku.
            “Siti Fatimah, kami bangga mempunyai mahasiswi yang pintar, kreatif dan super aktif selain itu juga banyak meraih berbagai prestasi. Dengan prestasi yang begitu banyak, membuat kamu terkenal di luar sana dan mengharumkan nama universitas ini, dan kamu setelah ini di jamin bisa bekerja di salah satu perusahaan  terkenal di Indonesia. Perusahaan itu telah melihat hasil kerja kamu yang sempurna selama kamu menjalankan KKN di kantor cabangnya. Selamat Siti?” kata Dekan panjang lebar dan menyerahkan sebuah amplop berisi surat dari perusahaan tersebut.
            Aku seolah melayang bukan main, kebahagian saat itu tidak bisa aku gambarkan. Aku menangis bahagia dan bersujud syukur di depan semua orang. Mengucapkan terima kasih kepada Dekan dengan air mata yang berjatuhan. Aku pandangi ibu yang duduk jauh di ujung sana, tubuhnya yang sudah begitu renta di basahi oleh air mata bahagia.
            Acara wisuda saat itu sudah usai. Ibu memelukku begitu erat, jantung ibu bertedak kenjang, menggambarkan kebanggannya kepadaku. Sungguh takku duga kebahagiaan ini datang bertubi-tubi. Teman-temanku datang ikut memeluk dan memberi selamat kepadaku.
“Apa kataku, kamu itu memeng mutiara gubuk tua siti, bukan hanya di gubuk tua tetapi mutiara untuk semua orang. selamat ya Siti?” kata Dinda sambil memelukku.
Aku tersenyum dan bahagia mempunyai sahabat sebaik mereka. Aku mengajak ibu dan teman-temanku foto bersama, sebagai sebuah kenang-kenangan.
***
            Aku pulang dengan perasaan bangga dengan membimbing ibu yang sudah letih menemaniku saat acawa wisuda. Kami berdua melewati rumah Ibu Leni yang pernah mencabik hati dan persaanku dengan kata-katanya. Semua kata itu menjadi cambuk bagiku untuk menjadi sukses sampai saat ini.
            Semenjak aku bekerja di perusahaan itu, aku tidak izinkan ibu bekerja lagi. Dia aku perlakukan bagaikan seorang ratu. Dengan uang hasil pekerjaanku, gubuk tua yang dulu, aku ganti dengan rumah yang tak jauh berbeda dari rumah yang berbaris di pinggir jalan sana, meskipun aku belum bisa memiliki istana yang sebagus milik Pak Umar.
      Rumah yang tidak jauh dari tempatku sudah sunyi, dan mereka hadir di alam mimpi masing-masing. Aku masih duduk di teras rumah di temani lolongan hewan malam. Terlintas sebuah kata-kata dari sahabatku Dinda, bahwa aku adalah mutiara gubuk tua. Meskipun gubuk tua itu telah hilang dan berganti menjadi rumah yang lebih bagus, tetapi aku tetap menjadi mutiara gubuk tua bagi ibu dan ayahku serta orang di luar sana.(*)

Oleh :
 
HARISA IRMA FRANNANDA
Kuranji - PADANG
 
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
 

Related Posts :