A Story from My Friend

http://www.rumahkeluargaindonesia.com/wp-content/uploads/2014/05/bayangan-perempuan-.jpg
Pict by : rumahkeluargaindonesia.com


bembsi.org - Ini cerita tentang seorang teman dekatku. Aku dan dia sudah seperti satu jiwa dengan satu badan, kami sangatlah dekat hingga tak terpisahkan. Aku selalu bersamanya setiap hari. Berbagi cerita sehari-hari adalah kebiasaan utama kami, setiap harinya kami selalu menyisihkan waktu untuk bertatap muka hanya untuk menceritakan hal-hal kecil atau besar yang telah terjadi dalam satu hari penuh. Kami tidak pernah melewatkan kebiasaan itu, sekalipun tidak pernah. Ini persahabatan yang luar biasa bukan?
            Dia adalah orang yang paling rajin yang pernah kukenal. Kenapa aku berkata demikian? Karena Ia tidak pernah ijin atau sakit apalagi alpa sekalipun selama empat semester berturut-turut. Ia juga tidak pernah terlambat ke sekolah. Nilai kedisiplinannya di rapor adalah A++, seandainya ada nilai yang lebih baik dari A++, sudah dipastikan Ia akan mendapatkan itu.
            Saat aku mengetahui itu semua, aku langsung bertanya padanya, bagaimana Ia bisa selalu pergi ke sekolah setiap hari (Tentu saja, selain hari libur ya) tanpa ada halangan sekalipun. Ia tidak menjawab, Ia hanya diam. Lalu aku bertanya lagi, apakah kamu pernah sakit. Bukan menjawab, Ia hanya tersenyum. Oke, aku simpulkan bahwa dia itu gila.
 Dia juga memiliki hati yang indah kepada siapapun, dan dengan hatinya yang indah itu, Ia selalu memiliki tekad yang kuat. Pantang menyerah adalah motivasi hidupnya, dan kerja keras adalah nama lain dari dirinya. Ia seorang manusia yang selalu memenuhi jalan hidupnya dengan mimpi. Pernah suatu ketika, Ia berkata padaku, bahwa di masa depan jika Ia telah sukses dan menghasilkan banyak uang, Ia ingin membeli sebuah pulau tak berpenghuni dan Ia juga  menyuruhku untuk ikut tinggal bersamanya. Tentu saja aku tidak tega menolak ajakannya itu. Sejujurnya, hidup bersama sahabat itu memang menyenangkan, tetapi bagian hidup di pulau tak berpenghuni itu sangat menyeramkan. Entahlah, membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri tegak.
            Oh! Ada satu hal lagi yang lebih konyol dari itu. Ketika Ia sedang mengerjakan soal-soal kompetisi Fisika di buku paketnya yang susahnya tidak tertolong itu.Tiba-tiba Ia berkhayal bagaimana seandainya, jika Ia hidup di masa lalu bersama Isaac Newton yang telah menemukan teori-teori luar biasa yang membantu kemajuan pengetahuan manusia. Seandainya Ia benar-benar hidup di masa itu, mampukah Ia bertanding kepintaran dengan Isaac Newton?  Aku langsung menjawab; Mungkin-mungkin saja. Mm, jawabanku yang sebenarnya adalah yang sebaliknya, yaitu tidak mungkin. Aku menjawab mungkin-mungkin saja itu untuk menjaga perasaan lembut temanku, aku tidak ingin dia tersinggung.
Tapi, Bagaimana bisasesuatu yang telah terjadi diputar kembali? Dia pikir, mesin waktu milik Doraemon itu benar-benar ada? Jika benar ada, mungkin Ia harus pergi ke masa lalu sekarang juga, untuk membuktikan apakah dia bisa bertanding kepintaran dengan Bapak Fisika favoritnya itu.
Tidak, aku tidak bermaksud untuk mengejek mimpi-mimpi anehnya itu. Aku bukan tipe orang yang suka mematahkan harapan orang lain. Sekalipun, persentase kemungkinan untuk terwujudnya harapan itu hanya sebesar  0,0000001%. Aku tidak ingin mengahancurkan kemungkinan angka komasatu dalam mimpi seseorang. Karena setiap orang berhak untuk bermimpi setinggi langit, lagian bermimpi itu tidak bayar, alias gratis. Jadi, tidak akan ada pihak yang dirugikan hanya karena sebuah mimpi.
Dengan semua sifat-sifat uniknya itu, aku sangat gembira bisa mengenal orang yang memiliki tingkat optimisme hidup yang sangat tinggi. Sudah bertahun-tahun kami menjalin persahabatan, tentu aku sudah sangat hapal semua gaya hidup temanku itu.
            Hanya satu hal yang tidak pernah kupahami darinya. Ketika tanggal Ujian Negeri mulai mendekat, Ia tiba-tiba menghindariku tanpa sebab yang jelas. Ia tidak berkata apa-apa padaku, Ia hanya berusaha menjauh ketika aku datang menghampirinya.  Dan itu berlangsung selama berbulan-bulan, membuatku frustasi tanpa alasan. Bagaimana tidak frustasi? Seorang teman yang sangat aku kenal itu menjadi orang terasing yang pernah kutemui.
Aku tidak mengenalnya.Seberapa keras aku mencoba untuk mendekatinya, Ia selalu menolak kehadiranku. Aku benar-benar tidak mengenalnya. Ia sangat berbeda dengan seseorang yang kukenal dulu, seseorang yang selalu menghabiskan waktu seharian bersamaku. Ia mulai memperlakukanku seolah aku ini tidak ada. Aku sungguh tidak mengerti.
            Tapi, akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu. Sesuatu yang tidak kuketahui selama ini. Sebuah rahasia yang Ia simpan dalam-dalam sendirian. Seharusnya aku menyadari itu lebih awal. Sampai sekarang aku mengira, bahwa aku adalah orang yang paling mengenal siapa temanku itu. Tetapi, kenyataannya adalah tidak. Aku bahkan tidak mengetahui apa-apa tentangnya.
Setelah sekian lama Ia menghindariku, akhirnya kemarin malam Ia mau bertemu denganku. Aku sengaja mengunjunginya setiap hari supaya dia mau berbicara padaku, walaupun hanya sebentar. Lalu tanpa disangka, Ia membukakan pintu dan mempersilakanku untuk berbicara di kamarnya saja, karena takut mengganggu orang tuanya yang sedang istirahat.
Aku duduk di dekat jendela kamarnyadan Ia duduk di sisi ranjangnya yang terletak tidak jauh dari posisiku sekarang.
Aku membuka suara untuk mengawali pembicaraan, “Alasanku datang adalah ...” Ia menyelaku, “Untuk menanyakan alasan mengapa aku berubah seperti ini.” Aku mengangguk, mengiyakan jawabannya.
“Pertama, aku harus mempersiapkan segalanya untuk Ujian Negeri yang waktunya semakin dekat.” Aku mengangguk lagi, tanda mengerti. Setidaknya alasannya yang pertama ini cukup logis, “Apa kau harus belajar sampai menghindariku?”
“Sudah kubilang, aku ingin lebih giat belajar.” Ini tidak bisa diterima, tapi aku harus bersabar menahannya.
“Bukankah selama ini kau sudah sangat giat belajar?” tanyaku penasaran.
“Seperti yang kau ketahui, bahkan setelah aku sangat giat belajarpun, aku tidak bisa mencapai peringkat pertama di kelas. Sejujurnya, akupun sangat muak untuk belajar giat. Tapi, bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa kulakukan.” Suaranya bergetar hebat di telingaku, mataku tidak berani menatap wajah temanku itu. Aku bahkan tidak berani untuk hanya menoleh padanya dan memastikan bahwa sekarang Ia tidak sedang menangis. Tapi, entah kenapa, aku merasa, sekarang Ia sedang menangis tersedu-sedu.Tiba-tiba aku teringat akan sosokmu yang selalu belajar sampai larut malam. Ia berusaha untuk menjadi anak yang sempurna di depan kedua orang tuanya.
“Aku sudah belajar dengan benar-benar giat, sekolah dengan giat, dan hidup dengan giat. Tapi, kenapa aku tidak bisa menduduki peringkat pertama?”Kau bahkan tetap memaksakan untuk  pergi sekolah ketika demam menyerang tubuhmu.
“Apa aku telah melakukan suatu kesalahan? Aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku itu. Tapi, kenapa semakin lama semua ini terasa kejam?” Temanku berusaha mengatur napas serta cara bicaranya, dan aku hanya membuang wajah. Aku hanya menatap keluar jendela, melihat langit malam yang ditaburi bintang yang membuat sebuah konstelasi.
“Ibuku sangat berharap aku bisa masuk ke Universitas Negeri impiannya. Supaya Ibu bisa membanggakanku pada teman-teman arisannya ...,” “..., Aku juga ingin pergi ke Universitas unggulan. Tapi, aku tidak bisa. Kenyataannya tidak mungkin. Aku tidak sepintar itu.” Ia berbicara terus, tanpa berhenti.
“Aku juga mempunyai mimpi. Sangat banyak.” Ya, semua orang mempunyai mimpi, dan tidak terkecuali dirimu.
“Tapi, apa gunanya hidup dengan optimis? Jika hasil yang keluar adalah buah dari pesimis?” Setidaknya kau sudah mencoba untuk percaya. Aku tetap melempar tatapan ke arah jendela, dan tak memandang ke arahnya.
“Aku hanya merasa, bahwa aku selalu berada di peringkat terendah. Aku selalu mengharapkan peringkat pertama, tapi aku tidak memiliki tangga yang membantuku untuk naik ke peringkat atas.” Kau tidak memerlukan tangga untuk naik ke peringkat pertama, bukankah mimpimu adalah tanggamu?
“Aku bahkan lebih muak untuk percaya pada mimpi-mimpiku sendiri.” Tidak, kau tidak boleh berhenti percaya pada mimpi-mimpimu itu. Karena kita bisa, maka kita percaya. Karena kita percaya, maka kita bisa.
“Bicara itu mudah sekali.” Aku tahu, bicara itu sangat mudah. Tapi, bukankah mendengar itu jauh lebih mudah? Jadi dengarlah perkataan hatimu, sekali saja.
            Bukankah Ia selalu bertanya padamu; “Memang apa salahnya menjadi orangdengan peringkat rendah di kelas? Toh, kau tetaplah seorang manusia.”
Untuk terakhir kalinya, aku melihat ke arah jendela kamar. Pantulan bias cahaya Bulan di kaca jendela, terlihat jelas. Di sana aku menemukan sesuatu yang lebih bersinar dari bintang Rigel sekalipun, aku menemukan diriku yang sedang menangis sendirian dengan sendu di sisi ranjang, berusaha melepas teman khayalanku yang memudar bersama gelap malam untuk selama-lamanya.
Rahasia yang selama ini tak kuketahui darinya adalah kenyaatan, sebuah fakta  bahwa aku adalah dia dan dia adalah aku, dan  kami adalah satu jiwa.Aku juga tidak menyangka bahwa temanku selama ini hanyalah bayangan dari deretan mimpi-mimpiku.

 
Oleh :
 
Hafsah Nurbait
Batunungal - Bandung

Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
 

Related Posts :