
Pict by : rumahkeluargaindonesia.com
bembsi.org - Ini cerita tentang seorang teman
dekatku. Aku dan dia sudah seperti satu jiwa dengan satu badan, kami sangatlah
dekat hingga tak terpisahkan. Aku selalu bersamanya setiap hari. Berbagi cerita
sehari-hari adalah kebiasaan utama kami, setiap harinya kami selalu menyisihkan
waktu untuk bertatap muka hanya untuk menceritakan hal-hal kecil atau besar
yang telah terjadi dalam satu hari penuh. Kami tidak pernah melewatkan
kebiasaan itu, sekalipun tidak pernah. Ini persahabatan yang luar biasa bukan?
Dia
adalah orang yang paling rajin yang pernah kukenal. Kenapa aku berkata
demikian? Karena Ia tidak pernah ijin atau sakit apalagi alpa sekalipun selama
empat semester berturut-turut. Ia juga tidak pernah terlambat ke sekolah. Nilai
kedisiplinannya di rapor adalah A++, seandainya ada nilai yang lebih
baik dari A++, sudah dipastikan Ia akan mendapatkan itu.
Saat
aku mengetahui itu semua, aku langsung bertanya padanya, bagaimana Ia bisa
selalu pergi ke sekolah setiap hari (Tentu saja, selain hari libur ya) tanpa
ada halangan sekalipun. Ia tidak menjawab, Ia hanya diam. Lalu aku bertanya
lagi, apakah kamu pernah sakit. Bukan menjawab, Ia hanya tersenyum. Oke, aku
simpulkan bahwa dia itu gila.
Dia juga memiliki hati yang indah kepada
siapapun, dan dengan hatinya yang indah itu, Ia selalu memiliki tekad yang
kuat. Pantang menyerah adalah motivasi hidupnya, dan kerja keras adalah nama
lain dari dirinya. Ia seorang manusia yang selalu memenuhi jalan hidupnya
dengan mimpi. Pernah suatu ketika, Ia berkata padaku, bahwa di masa depan jika
Ia telah sukses dan menghasilkan banyak uang, Ia ingin membeli sebuah pulau tak
berpenghuni dan Ia juga menyuruhku untuk
ikut tinggal bersamanya. Tentu saja aku tidak tega menolak ajakannya itu.
Sejujurnya, hidup bersama sahabat itu memang menyenangkan, tetapi bagian hidup
di pulau tak berpenghuni itu sangat menyeramkan. Entahlah, membayangkannya saja
sudah membuat bulu kudukku berdiri tegak.
Oh!
Ada satu hal lagi yang lebih konyol dari itu. Ketika Ia sedang mengerjakan
soal-soal kompetisi Fisika di buku paketnya yang susahnya tidak tertolong itu.Tiba-tiba
Ia berkhayal bagaimana seandainya, jika Ia hidup di masa lalu bersama Isaac
Newton yang telah menemukan teori-teori luar biasa yang membantu kemajuan
pengetahuan manusia. Seandainya Ia benar-benar hidup di masa itu, mampukah Ia
bertanding kepintaran dengan Isaac Newton?
Aku langsung menjawab; Mungkin-mungkin saja. Mm, jawabanku yang
sebenarnya adalah yang sebaliknya, yaitu tidak mungkin. Aku menjawab mungkin-mungkin
saja itu untuk menjaga perasaan lembut temanku, aku tidak ingin dia
tersinggung.
Tapi, Bagaimana
bisasesuatu yang telah terjadi diputar kembali? Dia pikir, mesin waktu milik
Doraemon itu benar-benar ada? Jika benar ada, mungkin Ia harus pergi ke masa
lalu sekarang juga, untuk membuktikan apakah dia bisa bertanding kepintaran
dengan Bapak Fisika favoritnya itu.
Tidak, aku
tidak bermaksud untuk mengejek mimpi-mimpi anehnya itu. Aku bukan tipe orang
yang suka mematahkan harapan orang lain. Sekalipun, persentase kemungkinan
untuk terwujudnya harapan itu hanya sebesar
0,0000001%. Aku tidak ingin mengahancurkan kemungkinan angka komasatu
dalam mimpi seseorang. Karena setiap orang berhak untuk bermimpi setinggi
langit, lagian bermimpi itu tidak bayar, alias gratis. Jadi, tidak akan ada
pihak yang dirugikan hanya karena sebuah mimpi.
Dengan semua
sifat-sifat uniknya itu, aku sangat gembira bisa mengenal orang yang memiliki
tingkat optimisme hidup yang sangat tinggi. Sudah bertahun-tahun kami menjalin
persahabatan, tentu aku sudah sangat hapal semua gaya hidup temanku itu.
Hanya
satu hal yang tidak pernah kupahami darinya. Ketika tanggal Ujian Negeri mulai
mendekat, Ia tiba-tiba menghindariku tanpa sebab yang jelas. Ia tidak berkata
apa-apa padaku, Ia hanya berusaha menjauh ketika aku datang
menghampirinya. Dan itu berlangsung selama
berbulan-bulan, membuatku frustasi tanpa alasan. Bagaimana tidak frustasi? Seorang
teman yang sangat aku kenal itu menjadi orang terasing yang pernah kutemui.
Aku tidak
mengenalnya.Seberapa keras aku mencoba untuk mendekatinya, Ia selalu menolak
kehadiranku. Aku benar-benar tidak mengenalnya. Ia sangat berbeda dengan
seseorang yang kukenal dulu, seseorang yang selalu menghabiskan waktu seharian
bersamaku. Ia mulai memperlakukanku seolah aku ini tidak ada. Aku sungguh tidak
mengerti.
Tapi,
akhirnya aku menemukan sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu. Sesuatu
yang tidak kuketahui selama ini. Sebuah rahasia yang Ia simpan dalam-dalam
sendirian. Seharusnya aku menyadari itu lebih awal. Sampai sekarang aku
mengira, bahwa aku adalah orang yang paling mengenal siapa temanku itu. Tetapi,
kenyataannya adalah tidak. Aku bahkan tidak mengetahui apa-apa tentangnya.
Setelah sekian
lama Ia menghindariku, akhirnya kemarin malam Ia mau bertemu denganku. Aku
sengaja mengunjunginya setiap hari supaya dia mau berbicara padaku, walaupun hanya
sebentar. Lalu tanpa disangka, Ia membukakan pintu dan mempersilakanku untuk
berbicara di kamarnya saja, karena takut mengganggu orang tuanya yang sedang
istirahat.
Aku duduk di
dekat jendela kamarnyadan Ia duduk di sisi ranjangnya yang terletak tidak jauh
dari posisiku sekarang.
Aku membuka
suara untuk mengawali pembicaraan, “Alasanku datang adalah ...” Ia menyelaku,
“Untuk menanyakan alasan mengapa aku berubah seperti ini.” Aku mengangguk,
mengiyakan jawabannya.
“Pertama, aku
harus mempersiapkan segalanya untuk Ujian Negeri yang waktunya semakin dekat.”
Aku mengangguk lagi, tanda mengerti. Setidaknya alasannya yang pertama ini
cukup logis, “Apa kau harus belajar sampai menghindariku?”
“Sudah
kubilang, aku ingin lebih giat belajar.” Ini tidak bisa diterima, tapi aku
harus bersabar menahannya.
“Bukankah
selama ini kau sudah sangat giat belajar?” tanyaku penasaran.
“Seperti yang
kau ketahui, bahkan setelah aku sangat giat belajarpun, aku tidak bisa mencapai
peringkat pertama di kelas. Sejujurnya, akupun sangat muak untuk belajar giat.
Tapi, bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa kulakukan.” Suaranya bergetar hebat
di telingaku, mataku tidak berani menatap wajah temanku itu. Aku bahkan tidak
berani untuk hanya menoleh padanya dan memastikan bahwa sekarang Ia tidak
sedang menangis. Tapi, entah kenapa, aku merasa, sekarang Ia sedang menangis
tersedu-sedu.Tiba-tiba aku teringat akan sosokmu yang selalu belajar sampai
larut malam. Ia berusaha untuk menjadi anak yang sempurna di depan kedua orang
tuanya.
“Aku sudah
belajar dengan benar-benar giat, sekolah dengan giat, dan hidup dengan giat.
Tapi, kenapa aku tidak bisa menduduki peringkat pertama?”Kau bahkan tetap
memaksakan untuk pergi sekolah ketika
demam menyerang tubuhmu.
“Apa aku telah
melakukan suatu kesalahan? Aku bahkan tidak tahu apa kesalahanku itu. Tapi,
kenapa semakin lama semua ini terasa kejam?” Temanku berusaha mengatur napas
serta cara bicaranya, dan aku hanya membuang wajah. Aku hanya menatap keluar
jendela, melihat langit malam yang ditaburi bintang yang membuat sebuah konstelasi.
“Ibuku sangat
berharap aku bisa masuk ke Universitas Negeri impiannya. Supaya Ibu bisa
membanggakanku pada teman-teman arisannya ...,” “..., Aku juga ingin pergi ke
Universitas unggulan. Tapi, aku tidak bisa. Kenyataannya tidak mungkin. Aku
tidak sepintar itu.” Ia berbicara terus, tanpa berhenti.
“Aku juga
mempunyai mimpi. Sangat banyak.” Ya, semua orang mempunyai mimpi, dan
tidak terkecuali dirimu.
“Tapi, apa
gunanya hidup dengan optimis? Jika hasil yang keluar adalah buah dari pesimis?”
Setidaknya kau sudah mencoba untuk percaya. Aku tetap melempar tatapan
ke arah jendela, dan tak memandang ke arahnya.
“Aku hanya
merasa, bahwa aku selalu berada di peringkat terendah. Aku selalu mengharapkan
peringkat pertama, tapi aku tidak memiliki tangga yang membantuku untuk naik ke
peringkat atas.” Kau tidak memerlukan tangga untuk naik ke peringkat
pertama, bukankah mimpimu adalah tanggamu?
“Aku bahkan
lebih muak untuk percaya pada mimpi-mimpiku sendiri.” Tidak, kau tidak boleh
berhenti percaya pada mimpi-mimpimu itu. Karena kita bisa, maka kita percaya.
Karena kita percaya, maka kita bisa.
“Bicara itu
mudah sekali.” Aku tahu, bicara itu sangat mudah. Tapi, bukankah mendengar
itu jauh lebih mudah? Jadi dengarlah perkataan hatimu, sekali saja.
Bukankah
Ia selalu bertanya padamu; “Memang apa salahnya menjadi orangdengan
peringkat rendah di kelas? Toh, kau tetaplah seorang manusia.”
Untuk terakhir kalinya, aku melihat
ke arah jendela kamar. Pantulan bias cahaya Bulan di kaca jendela, terlihat
jelas. Di sana aku menemukan sesuatu yang lebih bersinar dari bintang Rigel
sekalipun, aku menemukan diriku yang sedang menangis sendirian dengan sendu di
sisi ranjang, berusaha melepas teman khayalanku yang memudar bersama gelap
malam untuk selama-lamanya.
Rahasia yang selama ini tak kuketahui darinya adalah
kenyaatan, sebuah fakta bahwa aku adalah
dia dan dia adalah aku, dan kami adalah
satu jiwa.Aku juga tidak menyangka bahwa temanku selama ini hanyalah bayangan
dari deretan mimpi-mimpiku.
Oleh :
Hafsah Nurbait
Batunungal - Bandung
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik