
Pict by : .bp.blogspot.com
bembsi.org - Aku
belum mengenalnya dengan formal, atau berjabat tangan dan menyebutkan nama kami
satu per satu. Aku hanya mengenalnya sebagai tetangga di rumah baruku ini. Ia
dan keluarganya adalah sosok yang membuatku terkesima, meski hanya dalam beberapa
hari saja aku melihat semua yang terjadi padanya. Disya, itulah namaku. Tinggal
di desa ini membuatku mengenal banyak perbedaan dan juga banyak perjuangan. Air
mata pun tak jarang aku temukan. Rumahku memang bisa dibilang lebih kokoh
dibandingkan dengan yang lainnya, namun menurutku semua rumah sama saja sebagai
tempat perlindungan dan juga surga di dunia ini.
Pak
Amal, Bu Amal, Aisya, dan Rayhan itu tetangga di rumah baruku yang membuat aku
terkesima. Aku hanya melihat kesehariannya saja, aku belum pernah bercengkrama
ataupun sekedar bertegur sapa karena aku canggung. Menurut pengamatanku selama
aku beberapa hari di sini mereka sangat pendiam, namun kelihatannya mereka
memiliki hati yang baik. Ingin rasanya aku mengahmpiri mereka dan berbincang-bincang
walaupun sebentar saja, tapi aku masih ragu untuk melangkahkan kakiku kesana.
Satu lagi yang aku amati dari keluarga Pak Amal itu, mereka seperti dikucilkan
di desa ini. Di pandang sebelah mata oleh tetangganya yang lain. Entah alasan
apa yang menjadi tumpuan mereka. Terkadang aku sampai tak enak hati melihat
perlakuan tetanggaku yang lain terhadap mereka. Namun aku hanyalah seorang
bocah yang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Loh
hari ini Ibu tidak masuk kerja?” tanyaku heran.
“Tidak
Sya, hari ini ada acara sama tetangga-tetangga kita,” ujar Ibuku
“Acara
apa bu? Disya boleh ikut?” tanyaku kembali.
“Tidak
usah, kamu di rumah saja,” jawab Ibu.
Aku melihat Ibu dan tetanggaku pergi
bersama naik mobil yang sudah mereka sewa. Entah akan pada pergi kemana dan ada
acara apa. Setelah mobilnya pergi aku segera masuk ke dalam, namun aku melihat
satu tetanggaku yang masih dirumah dan tidak ikut pergi. Ya, dia adalah Bu
Amal. Aku menatapnya sambil sedikit keheranan.
“Bu,
kok tadi aku lihat Bu Amal tetangga kita tidak ikut pergi?” tanyaku pada ibuku
yang baru saja masuk ke kamarnya.
“Iya
Sya, ibu juga tidak tahu. Ibukan orang baru di sini,” ujar Ibu.
Aku tak beromentar lagi tentang kejadian
tadi, aku langsung pergi dari kamar Ibu dan langsung masuk ke kamarku. Masih
merasa heran dan aku kepikiran karena hal tadi, meski sebenarnya aku tak ingin
memikirkannya.
Pagi
menggeser awan hitam yang berteman bulan dan bintang. Cahaya tak lagi kecil
karena mentari telah kembali dihari ini. Aku mengumpulkan nyali untuk pergi ke
rumah Pak Amal dan keluarganya. Sekotak kue bolu buatan Ibuku yang kubawa ini
menjadi satu alasanku ke rumah mereka.
“Assalamualaikum,”
ucapku sembari mengetuk pintu yang tertutup.
“Waalaikumsalam,”
jawab seorang gadis di rumah itu.
“Eh
kamu yang tinggal dirumah itu ya?” tanyanya sembari menunjuk rumahku.
“Iya,
aku tetangga baru kamu. Aku baru beberapa hari saja di sini.”
“Masuk
yuk..”
Aisya mengajakku masuk. Sepi dan hening
suasana di rumahnya, hanya ada suara lagu yang terdengar itu saja sangat lirih.
“Oh
iya ini ada kue dari Ibuku, smeoga kamu sama keluarga kamu suka ya,” ucapku
sembari memberikan kotak kue itu.
“Alhamdulilah,
terimakasih ya,” ucapnya padaku.
Aisya membawa kue itu masuk dan
meninggalkanku sebentar. Di meja ruang tamu penuh dengan kertas gambar sketsa
desain baju dan juga puisi. Aku kagum dengan gambar dan puisinya. Sungguh Tuhan
itu adil, dibalik banyak kekurangan tercipta satu kelebihan yang tak terhingga.
Aisya kembali lagi keluar lagi sambil membawakanku minuman.
“Nama
kamu siapa? Kita kan belum kenalan,” tanyanya memulai perbincangan sembari
memberesakn kertas-kertas di meja itu.
“Oh
iya aku lupa. Namaku Disya, aku pindahan dari kota dekat desa ini kok. Nama
kamu Aisya ya?”
“Kamu
sudah tahu namaku?” tanyanya sedikit heran.
“Iya,
aku tahu dari tetangga yang lain. Hari pertama tinggal di sini aku sempat
bercerita sedikit dengan tetangga yang lain tentangmu dan keluarga.”
“Oh,
ada yang mau bercerita tentangku?” tanyanya sembari sedikit menunduk.
“Memangnya
kenapa?” tanyaku kembali pada Aisya.
Belum Aisya menjawab pertanyaanku Ibu
Aisya pulang. Entah darimana, tapi yang kulihat banyak sekali barang bawaannya.
Hanya sedikit obrolan kami hari ini, belum puas aku rasanya bercengkrama dengan
Aisya. Tapi aku pasti akan kembali untuk sekedar menyapa dan tahu tentang
kabarnya.
Aku
berjalan hanya seorang diri, Ibu dan Ayahku tak ada yang bisa menjemputku di
sekolah. Sampai di depan rumah betapa terkejutnya aku, tetanggaku dan juga
kedua orang tuaku berbondong-bondong pergi ke rumah Aisya. Aku sama sekali
tidak tahu apa yang terjadi, akupun mengikuti mereka untuk memenuhi rasa
penasaranku ini. Aku datang dengan sangat hati-hati. Aku melihat Aisya menangis
sendiri di belakang rumahnya. Aku langsung mengahampirinya. Aisya memeluku, dan
menangis sepuasnya di pundaku. Ayahnya, atau Pak Amal yang belum pernah ku
temui meninggal. Katanya memang sudah lama ia sakit, namu belakangan ini
sakitnya bertambah parah dan akhirnya meninggal. Aisya sangat terpukul, aku
hanya bisa memeluknya dan menjadi temannya saat itu. Aku tak bisa berbuat yang
lainnya selain menenangkannya saja.
“Aku
tahu kamu pasti sangat terpukul, tapi tak ada hal yang bisa kamu perbuat lagi
selain kamu mendoakan Ayahmu dari sini. Aku yakin dengan doa yang kamu kirimkan
Ayahmu akan jauh lebih tenang dan bahagia,” ujarku sambil sedikit menghilangkan
kesedihan Aisya.
“Terimakasih
Sya, kamu sudah mau menjadi temanku dan bahkan selalu menemaniku hingga hari
ini,”
“Sama-sama
Aisya, aku senang bisa menemanimu. Tapi aku lihat kemarin teman-temanmu banyak
yang datang kan?” tanyaku pada Aisya.
“Iya,
tapi hanya kemarin saja. Sekarang dan mungkin esok mereka tak mungkin kesini
lagi,” jawabnya.
Ditengah keheningan yang terjadi antara
kami berdua, tiba-tiba Aisya bertanya kepadaku.
“Apakah
aku boleh bercetita denganmu?” tanya Aisya yang memecah suasana saat iru.
“Cerita
saja, aku senang jika bisa menjadi tempat curhatmu,” ujarku sembari
melengkungkan senyumku untuknya.
“Aku
tahu tak ada orang yang sempurna, dan aku juga tahu banyak perbedaan yang ada
di sekitarku ini. Tapi apa aku salah jika aku hanya ingin keadian saja?”
tiba-tiba Aisya bertanya.
“Maksudmu?”
aku kembali bertanya kepadanya.
“Aku
tahu Sya, aku hanya gadis dari keluarga yang tidak mampu. Tak ada yang bisa
dibagikan kepada yang lainnya. Tapi aku juga ingin seperti yang lain, bisa
dihargai sebagai teman dan tetangga, dihargai dan disayang sebagai saudara. Selama
ini aku diam, karena aku tak ingin membebani siapa-siapa. Tapi aku juga manusia
yang ingin berbagi kisah dengan yang lainnya. Aku sedih Sya, Ayahku meninggal
dan saudaraku datang. Tapi mereka tak menemani kami yang sedang merasa sedih
dan kehilangan. Justru mereka malah memilih tinggal di rumah tetangga kami. Apa
karena rumah kami sangat buruk untuk mereka? Setelah 3 hari pun mereka pulang
dan tanpa kabar lagi hingga sekarang. Kami saudaranya bukan orang lain, tapi
kenapa kami begitu asing bagi mereka? Sebelumnya pun mereka membiarkan kamu
sekeluarga sendiri di sini, di hari lebaran mereka datang ke desa ini tapi tak
berkunjung ke rumahku Sya. Aku sedih bukan karena aku menginginkan sesuatu dari
mereka, aku hanya ingin dalam tingkah laku mereka menganggap kami saudara. Belum
lagi soal tetangga, aku dan keluargaku seperti tinggal di hutan. Tak ada yang
mempedulikan. Jika ada acara atau kabar apa kami dilibatkan? Tidak Sya, kami
hanya mereka anggap sebagai penonton saja. Mereka tak membenci kami, tapi semua
yang dilakukannya itu solah-olah tak ingin dekat dengan kami. Dan belum lagi
soal temanku, aku memang punya banyak teman. Tapi aku tak banyak sahabat. Aku
punya 4 teman yang mereka menganggapku sahabat. Hampir setiap hari mereka main
ke rumahku, meskipun hanya untuk bercerita tanpa ada hal yang penting. Tapi
kenapa saat aku tak bisa bersama mereka, justru mereka seperti meninggalkanku? Aku
disini menunggku mereka, tapi mereka hanya mengabari satu sama lain tanpa
melibatkan aku. Kenapa?” cerita panjang Aisya yang mengundang air mata kita
berdua.
Aku tak berkomentar apa-apa, hanya
mendengarkannya saja. Karena aku hanya ingin
membuatnya sedikit lega terlebih dahulu saja.
“Terimakasih
ya Sya, kamu sudah sangat baik denganku. Aku tahu kamu teman yang baru aku
kenal, tapi aku yakin aku akan menjadi teman yang baik bahkan sahabat baik pula
bagiku.”
“Aku
juga senang bisa berkenalan denganmu, dan lebih senangnya lagi baru beberapa
hari kita kenal kamu sudah mau menceritakan satu hal ini kepadaku. Aku memang
tak bisa berbuat banyak, tapi setidaknya aku akan menjadi teman yang setia
mendengarkanmu bercerita,” ucapku sembari memeluk Aisya.
Malam
yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Langit berbintang dan juga awan
menghitam, tak ketinggalan sinaran sang bulan. Tapi aku tak melihat keindahan
itu di luar, aku mengurung diri di kamarku. Tak ada masalah sih, hanya saja
masih merenungi semua yang tadi Aisya ceritakan padaku. Betapa beruntungnya
aku, semua yang Aisya ceritakan tidak terjadi sama sekali kepadaku. Namun,
tiba-tiba terselip kesedihan mengingat kata-kata Aisya tadi. Ia akan pindah ke
kota dengan keluarganya. Entah kapan ia akan kembali. Berat baginya
meninggalkanku, tapi ia harus melakukan ini untuk kemajuannya. Akupun begitu,
berat melepasnya tapi aku tetap mendukungnya.
Sudah
hampir 2 tahun aku tinggal di desa ini, begitu pula aku mengenal Aisya sosok
yang tegar dan sangat menginspirasi bagiku. Tapi sekarang ia menjadi gadis
kota, yang entah bagaimana kabar dan keadaannya saat ini. Aku membuka novel
yang Ayah berikan kemarin, dua novel yang cantik dan menarik untuku baca. Seharian
aku tak keluar dari kamarku, dan hanya terpaku pada novel pemberian Ayah. Novel
pertama yang aku baca tentang perjuangan hidup seorang gadis malang dan yang
kedua yaitu perjuangan seorang mewujudkan mimpinya. Sungguh, dua novel yang
membuatku terinspirasi. Aku membuka halaman si penulis, dan yang sangat
mengejutkanku adalah itu novel karangan teman baruku di desa ini yaitu Aisya.
Betapa bangganya dan bahagianya aku. Tapi ada satu hal yang kuharapkan, semoga
Aisya masih mengingatku dan masih mau berteman denganku.
Malam
digantikan oleh pagi. Tapi aku masih merindukan teman baruku itu. Aku menengok
ke arah rumah Aisya. Berharap ada keajaiban yang membuat aku bertemu dengannya.
Tiba-tiba ada suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah Aisya, entah siapa
itu. Aku melihatnya hingga orang yang ada dalam mobil itu keluar. Ini sangat
mengejutkan, Allah mendengar doaku. Aisya datang bersama keluarganya. Aisya
langsung menghampiriku yang berdiri di depan rumah. Kami langsung berpelukan.
Ia sungguh berbeda, lebih modis dan juga fashionable. Tapi tidak dengan sifatnya,
masih sama saat kami bertama bertemu. Aisya membawa banyak sekali barang-barang
dan makanan. Aisya memintaku untuk menemaninya membagikannya ke semua tetangga.
Dan ia juga mengundang semua tetangganya untuk makan malam bersama keluarganya
nanti malam. Aku sangat bangga kepadanya, sama sekali tak ada rasa dendam di
dalam hatinya. Hanya ada rasa bahagia yang ingin ia bagikan kepada semuanya.
“Sekarang
aku memang sudah berubah, tapi Aisya tetap Aisya. Tak boleh ada kata dendam
yang tersimpan di dalam hati,” ucap Aisya sembari melebarkan senyumnya
kepadaku.
Aku sama sekali tak
mengomentari ucapannya, hanya memberikan pelukan hangat yang aku yakin pasti ia
rindukan.
Oleh :
Puspa Dharma Argini
Kendal - Jawa Tengah
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik