Sebelah mata

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG1lOWdEXX_mskdrBDNSuO1CxGQ4FImmxnscd-XxNwewitFTwav3qoL8RVV9RpLiEAG8bTQKCU-Gvnwq_KjaKqQrDCfHSuG-axC4KSbUHgiplJDE3EGM-JStbSpW-st0pgoe3tyRWwT-Y/s1600/sebelah-mata.gif
Pict by : .bp.blogspot.com
bembsi.org - Aku belum mengenalnya dengan formal, atau berjabat tangan dan menyebutkan nama kami satu per satu. Aku hanya mengenalnya sebagai tetangga di rumah baruku ini. Ia dan keluarganya adalah sosok yang membuatku terkesima, meski hanya dalam beberapa hari saja aku melihat semua yang terjadi padanya. Disya, itulah namaku. Tinggal di desa ini membuatku mengenal banyak perbedaan dan juga banyak perjuangan. Air mata pun tak jarang aku temukan. Rumahku memang bisa dibilang lebih kokoh dibandingkan dengan yang lainnya, namun menurutku semua rumah sama saja sebagai tempat perlindungan dan juga surga di dunia ini.
Pak Amal, Bu Amal, Aisya, dan Rayhan itu tetangga di rumah baruku yang membuat aku terkesima. Aku hanya melihat kesehariannya saja, aku belum pernah bercengkrama ataupun sekedar bertegur sapa karena aku canggung. Menurut pengamatanku selama aku beberapa hari di sini mereka sangat pendiam, namun kelihatannya mereka memiliki hati yang baik. Ingin rasanya aku mengahmpiri mereka dan berbincang-bincang walaupun sebentar saja, tapi aku masih ragu untuk melangkahkan kakiku kesana. Satu lagi yang aku amati dari keluarga Pak Amal itu, mereka seperti dikucilkan di desa ini. Di pandang sebelah mata oleh tetangganya yang lain. Entah alasan apa yang menjadi tumpuan mereka. Terkadang aku sampai tak enak hati melihat perlakuan tetanggaku yang lain terhadap mereka. Namun aku hanyalah seorang bocah yang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Loh hari ini Ibu tidak masuk kerja?” tanyaku heran.
“Tidak Sya, hari ini ada acara sama tetangga-tetangga kita,” ujar Ibuku
“Acara apa bu? Disya boleh ikut?” tanyaku kembali.
“Tidak usah, kamu di rumah saja,” jawab Ibu.
Aku melihat Ibu dan tetanggaku pergi bersama naik mobil yang sudah mereka sewa. Entah akan pada pergi kemana dan ada acara apa. Setelah mobilnya pergi aku segera masuk ke dalam, namun aku melihat satu tetanggaku yang masih dirumah dan tidak ikut pergi. Ya, dia adalah Bu Amal. Aku menatapnya sambil sedikit keheranan.
            “Bu, kok tadi aku lihat Bu Amal tetangga kita tidak ikut pergi?” tanyaku pada ibuku yang baru saja masuk ke kamarnya.
            “Iya Sya, ibu juga tidak tahu. Ibukan orang baru di sini,” ujar Ibu.
Aku tak beromentar lagi tentang kejadian tadi, aku langsung pergi dari kamar Ibu dan langsung masuk ke kamarku. Masih merasa heran dan aku kepikiran karena hal tadi, meski sebenarnya aku tak ingin memikirkannya.
            Pagi menggeser awan hitam yang berteman bulan dan bintang. Cahaya tak lagi kecil karena mentari telah kembali dihari ini. Aku mengumpulkan nyali untuk pergi ke rumah Pak Amal dan keluarganya. Sekotak kue bolu buatan Ibuku yang kubawa ini menjadi satu alasanku ke rumah mereka.
            “Assalamualaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu yang tertutup.
            “Waalaikumsalam,” jawab seorang gadis di rumah itu.
            “Eh kamu yang tinggal dirumah itu ya?” tanyanya sembari menunjuk rumahku.
            “Iya, aku tetangga baru kamu. Aku baru beberapa hari saja di sini.”
            “Masuk yuk..”
Aisya mengajakku masuk. Sepi dan hening suasana di rumahnya, hanya ada suara lagu yang terdengar itu saja sangat lirih.
            “Oh iya ini ada kue dari Ibuku, smeoga kamu sama keluarga kamu suka ya,” ucapku sembari memberikan kotak kue itu.
            “Alhamdulilah, terimakasih ya,” ucapnya padaku.
Aisya membawa kue itu masuk dan meninggalkanku sebentar. Di meja ruang tamu penuh dengan kertas gambar sketsa desain baju dan juga puisi. Aku kagum dengan gambar dan puisinya. Sungguh Tuhan itu adil, dibalik banyak kekurangan tercipta satu kelebihan yang tak terhingga. Aisya kembali lagi keluar lagi sambil membawakanku minuman.       
“Nama kamu siapa? Kita kan belum kenalan,” tanyanya memulai perbincangan sembari memberesakn kertas-kertas di meja itu.
            “Oh iya aku lupa. Namaku Disya, aku pindahan dari kota dekat desa ini kok. Nama kamu Aisya ya?”
            “Kamu sudah tahu namaku?” tanyanya sedikit heran.
            “Iya, aku tahu dari tetangga yang lain. Hari pertama tinggal di sini aku sempat bercerita sedikit dengan tetangga yang lain tentangmu dan keluarga.”
            “Oh, ada yang mau bercerita tentangku?” tanyanya sembari sedikit menunduk.
            “Memangnya kenapa?” tanyaku kembali pada Aisya.
Belum Aisya menjawab pertanyaanku Ibu Aisya pulang. Entah darimana, tapi yang kulihat banyak sekali barang bawaannya. Hanya sedikit obrolan kami hari ini, belum puas aku rasanya bercengkrama dengan Aisya. Tapi aku pasti akan kembali untuk sekedar menyapa dan tahu tentang kabarnya.
            Aku berjalan hanya seorang diri, Ibu dan Ayahku tak ada yang bisa menjemputku di sekolah. Sampai di depan rumah betapa terkejutnya aku, tetanggaku dan juga kedua orang tuaku berbondong-bondong pergi ke rumah Aisya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, akupun mengikuti mereka untuk memenuhi rasa penasaranku ini. Aku datang dengan sangat hati-hati. Aku melihat Aisya menangis sendiri di belakang rumahnya. Aku langsung mengahampirinya. Aisya memeluku, dan menangis sepuasnya di pundaku. Ayahnya, atau Pak Amal yang belum pernah ku temui meninggal. Katanya memang sudah lama ia sakit, namu belakangan ini sakitnya bertambah parah dan akhirnya meninggal. Aisya sangat terpukul, aku hanya bisa memeluknya dan menjadi temannya saat itu. Aku tak bisa berbuat yang lainnya selain menenangkannya saja.
            “Aku tahu kamu pasti sangat terpukul, tapi tak ada hal yang bisa kamu perbuat lagi selain kamu mendoakan Ayahmu dari sini. Aku yakin dengan doa yang kamu kirimkan Ayahmu akan jauh lebih tenang dan bahagia,” ujarku sambil sedikit menghilangkan kesedihan Aisya.
            “Terimakasih Sya, kamu sudah mau menjadi temanku dan bahkan selalu menemaniku hingga hari ini,”
            “Sama-sama Aisya, aku senang bisa menemanimu. Tapi aku lihat kemarin teman-temanmu banyak yang datang kan?” tanyaku pada Aisya.
            “Iya, tapi hanya kemarin saja. Sekarang dan mungkin esok mereka tak mungkin kesini lagi,” jawabnya.
Ditengah keheningan yang terjadi antara kami berdua, tiba-tiba Aisya bertanya kepadaku.
            “Apakah aku boleh bercetita denganmu?” tanya Aisya yang memecah suasana saat iru.
            “Cerita saja, aku senang jika bisa menjadi tempat curhatmu,” ujarku sembari melengkungkan senyumku untuknya.
            “Aku tahu tak ada orang yang sempurna, dan aku juga tahu banyak perbedaan yang ada di sekitarku ini. Tapi apa aku salah jika aku hanya ingin keadian saja?” tiba-tiba Aisya bertanya.
            “Maksudmu?” aku kembali bertanya kepadanya.
            “Aku tahu Sya, aku hanya gadis dari keluarga yang tidak mampu. Tak ada yang bisa dibagikan kepada yang lainnya. Tapi aku juga ingin seperti yang lain, bisa dihargai sebagai teman dan tetangga, dihargai dan disayang sebagai saudara. Selama ini aku diam, karena aku tak ingin membebani siapa-siapa. Tapi aku juga manusia yang ingin berbagi kisah dengan yang lainnya. Aku sedih Sya, Ayahku meninggal dan saudaraku datang. Tapi mereka tak menemani kami yang sedang merasa sedih dan kehilangan. Justru mereka malah memilih tinggal di rumah tetangga kami. Apa karena rumah kami sangat buruk untuk mereka? Setelah 3 hari pun mereka pulang dan tanpa kabar lagi hingga sekarang. Kami saudaranya bukan orang lain, tapi kenapa kami begitu asing bagi mereka? Sebelumnya pun mereka membiarkan kamu sekeluarga sendiri di sini, di hari lebaran mereka datang ke desa ini tapi tak berkunjung ke rumahku Sya. Aku sedih bukan karena aku menginginkan sesuatu dari mereka, aku hanya ingin dalam tingkah laku mereka menganggap kami saudara. Belum lagi soal tetangga, aku dan keluargaku seperti tinggal di hutan. Tak ada yang mempedulikan. Jika ada acara atau kabar apa kami dilibatkan? Tidak Sya, kami hanya mereka anggap sebagai penonton saja. Mereka tak membenci kami, tapi semua yang dilakukannya itu solah-olah tak ingin dekat dengan kami. Dan belum lagi soal temanku, aku memang punya banyak teman. Tapi aku tak banyak sahabat. Aku punya 4 teman yang mereka menganggapku sahabat. Hampir setiap hari mereka main ke rumahku, meskipun hanya untuk bercerita tanpa ada hal yang penting. Tapi kenapa saat aku tak bisa bersama mereka, justru mereka seperti meninggalkanku? Aku disini menunggku mereka, tapi mereka hanya mengabari satu sama lain tanpa melibatkan aku. Kenapa?” cerita panjang Aisya yang mengundang air mata kita berdua.
Aku tak berkomentar apa-apa, hanya mendengarkannya saja. Karena aku hanya ingin  membuatnya sedikit lega terlebih dahulu saja.
            “Terimakasih ya Sya, kamu sudah sangat baik denganku. Aku tahu kamu teman yang baru aku kenal, tapi aku yakin aku akan menjadi teman yang baik bahkan sahabat baik pula bagiku.”
            “Aku juga senang bisa berkenalan denganmu, dan lebih senangnya lagi baru beberapa hari kita kenal kamu sudah mau menceritakan satu hal ini kepadaku. Aku memang tak bisa berbuat banyak, tapi setidaknya aku akan menjadi teman yang setia mendengarkanmu bercerita,” ucapku sembari memeluk Aisya.
            Malam yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Langit berbintang dan juga awan menghitam, tak ketinggalan sinaran sang bulan. Tapi aku tak melihat keindahan itu di luar, aku mengurung diri di kamarku. Tak ada masalah sih, hanya saja masih merenungi semua yang tadi Aisya ceritakan padaku. Betapa beruntungnya aku, semua yang Aisya ceritakan tidak terjadi sama sekali kepadaku. Namun, tiba-tiba terselip kesedihan mengingat kata-kata Aisya tadi. Ia akan pindah ke kota dengan keluarganya. Entah kapan ia akan kembali. Berat baginya meninggalkanku, tapi ia harus melakukan ini untuk kemajuannya. Akupun begitu, berat melepasnya tapi aku tetap mendukungnya.
            Sudah hampir 2 tahun aku tinggal di desa ini, begitu pula aku mengenal Aisya sosok yang tegar dan sangat menginspirasi bagiku. Tapi sekarang ia menjadi gadis kota, yang entah bagaimana kabar dan keadaannya saat ini. Aku membuka novel yang Ayah berikan kemarin, dua novel yang cantik dan menarik untuku baca. Seharian aku tak keluar dari kamarku, dan hanya terpaku pada novel pemberian Ayah. Novel pertama yang aku baca tentang perjuangan hidup seorang gadis malang dan yang kedua yaitu perjuangan seorang mewujudkan mimpinya. Sungguh, dua novel yang membuatku terinspirasi. Aku membuka halaman si penulis, dan yang sangat mengejutkanku adalah itu novel karangan teman baruku di desa ini yaitu Aisya. Betapa bangganya dan bahagianya aku. Tapi ada satu hal yang kuharapkan, semoga Aisya masih mengingatku dan masih mau berteman denganku.
            Malam digantikan oleh pagi. Tapi aku masih merindukan teman baruku itu. Aku menengok ke arah rumah Aisya. Berharap ada keajaiban yang membuat aku bertemu dengannya. Tiba-tiba ada suara mobil yang berhenti tepat di depan rumah Aisya, entah siapa itu. Aku melihatnya hingga orang yang ada dalam mobil itu keluar. Ini sangat mengejutkan, Allah mendengar doaku. Aisya datang bersama keluarganya. Aisya langsung menghampiriku yang berdiri di depan rumah. Kami langsung berpelukan. Ia sungguh berbeda, lebih modis dan juga fashionable. Tapi tidak dengan sifatnya, masih sama saat kami bertama bertemu. Aisya membawa banyak sekali barang-barang dan makanan. Aisya memintaku untuk menemaninya membagikannya ke semua tetangga. Dan ia juga mengundang semua tetangganya untuk makan malam bersama keluarganya nanti malam. Aku sangat bangga kepadanya, sama sekali tak ada rasa dendam di dalam hatinya. Hanya ada rasa bahagia yang ingin ia bagikan kepada semuanya.
            “Sekarang aku memang sudah berubah, tapi Aisya tetap Aisya. Tak boleh ada kata dendam yang tersimpan di dalam hati,” ucap Aisya sembari melebarkan senyumnya kepadaku.
Aku sama sekali tak mengomentari ucapannya, hanya memberikan pelukan hangat yang aku yakin pasti ia rindukan.

Oleh :
 
Puspa Dharma Argini
Kendal - Jawa Tengah

Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
 

Related Posts :