Tentang Kita




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjE9GDnz-22VK5EXhNKSkkg0mi_Hi5L3a2SR8jenYRIytr7OpwbpaOt5U2Z3pQqhcSSp51Ug-7STmiOoomN9fKie5iS8nNctgKbR0Q-UTlpgZIDQkVfXHrXsS3uSbmNWPWcFHP15bLy6Kl0/s1600/images.jpg
 Pict by: http://4.bp.blogspot.com
bembsi.org - Terik nya matahari siang ini tak menyurutkan semangat Nayla, Dinda, Alfiyah, dan Ilham. Hari ini mereka akan datang ke sekolahuntuk mengetahui pengumuman kelulusan. Setelah sibuk mencari nama mereka di mading sekolah, akhirnya mereka menemukan nama mereka. Mereka di nyatakan lulus dari Sekolah Dasar. Raut wajah mereka berempat tidak terlihat bahagia seperti murid-murid lainnya setelah mengetahui pengumuman itu. Karena bagi mereka ini adalah awal dari perpisahan. Maklum lah mereka sudah bersahabat dari kecil. Ilham, mengajak ketiga sahabat nya ke sebuah rumah pohon di samping kebun teh. Rumah pohon itu adalah saksi bisu persahabatan mereka sejak dulu.
  “Nay.. kamu serius mau ke Jogja?” tanya Dinda yang langsung membuka obrolan.
  “Kenapa mesti ke Jogja sih Nay, di Aceh juga banyak kan sekolahIslam yang bagus.” ucap Ilham.
  “Aku ngga bisa nolak keputusan kedua orang tua ku. Mereka bilang di Jogja itu gudang nya ilmu. Jadi aku harus menuntut ilmu di sana.” jawab Nayla sambil memandangi sahabat-sahabat nya.
  “Aku juga harus pergi merantau sahabat, aku juga akan ikut dengan Nayla ke Jogja.” ucap Alfiyah yang langsung membuat Dinda, Nayla, dan Ilham kaget. Sebab, Alfiyah tidak pernah mengatakan sebelumnya kalau ia ingin pergi ke Jogja juga bersama Nayla. Dinda dan Ilham hanya bisa terdiam, mereka tidak bisa membayangkan jika nanti mereka berpisah. Rumah pohon ini akan sepi. Walaupun Dinda dan Ilham tetap berada di Aceh, namun suasana akan jelas sekali berbeda.
  “Kalau kita liburan kita pasti akan bermain bersama lagi, sahabat. Kita berdua akan pulang ke Aceh. Kalian tak perlu bersedih, kita takan pernah lupa dengan kalian.” ucap Nayla menghibur kedua sahabat nya.
Hari yang sangat tidak di inginkan oleh Dinda dan Ilham datang juga, hari ini Nayla dan Alfiyah akan berangkat ke Jogja. Mereka akan menuntut ilmu di sebuah Pondok Pesantren terkenal di kota Jogja. Setelah berpamitan dan meminta restu keluarga dan sanak saudara, Nayla dan Alfiyah bersiap-siap ke Terminal. Mereka di temani oleh ayah Nayla sampai ke Jogja. Orang tua Alfiyah menitipkan putri nya pada ayah Nayla karena mereka tidak bisa mengantarkan Alfiyah sampai ke Jogja. Dinda dan Ilham pun ikut mengantarkan sahabatnya itu sampai ke Terminal. Sebelum Alfiyah dan Nayla naik ke bis, Dinda menyerahkan dua buah tasbih koka kepada kedua sahabatnya itu sebagai kenang-kenangan untuk mereka berdua agar selalu ingat dengan sang Maha Pencipta dan persahabatan mereka berempat. Tangis haru pecah diantara mereka berempat tatkala sopir bus mengklakson kan bis sebagai pertanda bis tersebut akan segera berangkat. Nayla dan Alfiyah segera naik ke dalam bis, meski berat melangkahkan kaki, akhirnya dengan di temani ayah Nayla mereka berdua masuk kedalam bis. Dinda dan Ilham, hanya bisa memandang sedih bis yang di tumpangi kedua sahabatnya itu. Semakin lama, bis itu mulai hilang dari pandangan mereka berdua.
  Setelah pulang dari Terminal, Dinda dan Ilham segera pergi ke sebuah sekolah, untuk mengisi formulir pendaftaran murid baru. Di sekolah itu lah mereka berdua akan melanjutkan sekolah dan tidak berempat lagi seperti di Sekolah Dasar dulu.
                                                           *****
  Di dalam bis Nayla bertanya-tanya dengan ayahnya tentang bagaimana rasanya hidup di Pondok Pesantren, sebab ayahnya dulu juga pernah menjadi Santri.
  “Kamu akan menemukan jawaban nya setelah kamu tinggal di sana,Nay. Karena setiap orang yang tinggal di Pesantren punya cerita yang berbeda-beda, dan setelah mereka keluar pun cerita itu akan selalu terukir rapi di benak mereka. Meskipun cerita itu tidak selalu bahagia, tapi cerita itulah yang akan menjadi kan mereka lebih kuat dari orang yang tidak pernah merasakan indahnya hidup di dalam bilik Pesantren. Percaya sama ayah, Nay.” jawaban ayah Nayla benar-benar membuat kedua gadis itu tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di Pondok Pesantren.
  Setelah menyebrangi lautan, bis yang kami tumpangi terus melaju, hingga akhirnya Nayla melihat sebuah gapura yang bertuliskan “Selamat Datang Di Daerah Istimewa Yogyakarta”
“Lihat itu, Fi.” ucap Nayla kepada Alfiyah yang sejak semalam tertidur pulas di bis. Alfiyah yang masih setengah sadar itu pun langsung memperbaiki posisi duduk nya. Ia menatap bangunan-bangunan yang tertata rapi disekitar kota yang dilewati oleh bis yang di tumpanginya itu.
  “Makanya banguuunn.. Fi, jangan tidur mulu. Baru tahu kan kamu kalau kita udah sampai di Jogja.” ledek Nayla pada sahabatnya yang sedang berusaha mengumpulkan energi untuk bisa duduk dengan tegak di bangku bis nya.
  “Iya, aku lelah banget, Nay. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai di kamar Pondok dah, Nay.”
  “Sekarang pengen nya sih cepet-cepet sampai tapi kalau udah sampai di Pondok..??” ledek Nayla lagi pada Alfiyah.
  “Lihat, Nayla.. kita sudah sampai. Lihat itu pintu gerbang Pondok kita.” ucap Alfiyah sambil menunjuk sebuah pintu besar yang diatas nya bertuliskan sebuah kalimat tauhid “Laa Ilaha Illallah”dan sebuah nama yang mereka yakini adalah nama PondokPesantren tersebut “Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Roudhothul Futuhiyyah”
Bis yang mereka tumpangi berhenti pas didepan gerbang Pondok tersebut. Ayah Nayla langsung menyuruh Nayla dan Alfiyah segera turun. Kini mereka telah berada didepan gerbang yang tinggi itu. Perasaan mereka saat ini sangat campur aduk. Mereka tengah melamunkan apa saja yang ada dibalik gerbang yang tinggi ini. Lamunan kedua gadis itu buyar ketika salah seorang santriawan menawarkan jasa untuk membawakan barang yang sedang dibawa mereka bertiga. Tak hanya itu santriawan itu juga mengantarkan mereka ke ruang panitia penerimaan santri baru. Disana ayah Nayla mengurusi segala administrasi dan segala keperluan yang dibutuhkan, seperti membeli seragam, lemari dan pemilihan kamar. Mereka berdua mendapatkan kamar dengan nama Asrama Siti Aisyah. Ayah Nayla mendapat kesempatan untuk tinggal di penginapan wali santri selama dua hari. Karena perjalanan untuk pulang ke Aceh sangat membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup lama.
“Ta’allyyaa Ukhti”ucap salah satu santriwati senior sambil menunjukan sebuah kamar kepada mereka. Meskipun mereka berdua tidak dapat mengerti arti dari yang diucapkan santriwati senior tersebut, namun mereka faham dari gerakan yang ditunjukan santriwati tersebut. Ketika ayah Nayla ingin mengikuti Nayla dan Alfiyah, ayah Nayla ditahan oleh beberapa santriwati yang sedang berjaga di depan gerbang Asrama santri putri. Santriwati itu mengatakan bahwa didalam adalah kawasan bebas lelaki. Jadi lelaki tidak diizinkan untuk masuk ke dalam Asrama putri.
  “Afwan, Ana la a’rif.” jawab ayah Nayla dengan bahasa Arab seperti santri-santri lainnya di Pondok ini. Maklum lah ayah Nayla juga dulu seorang santri, jadi untuk pertanyaan seperti itu sudah menjadi sesuatu yang tak asing lagi untuknya.
  Nayla dan Alfiyah lalu masuk ke dalam kamar baru nya dengan di antar oleh santrwati senior tadi, mereka pun mulai menata baju-baju serta perlengkapan yang lain nya kedalam lemari baru mereka. Kamar yang mereka tempati memang jauh lebih besar dari kamar mereka yang di rumah. Namun, di kamar baru nya ini tidak hanya di tempati oleh mereka saja tetapi juga di tempati oleh dua puluh tiga santriwati baru lainnya. Bisa di bayangkan betapa sempit nya kamar itu.
  Malam pertama mereka di Pondok Pesantren diisi oleh acara sambutan dari Pengasuh Pondok. Santriwan dan santriwati di Pondok ini biasa memanggil mereka dengan sebutan ” Abi”. Abi mengucapkan selamat datang pada santri baruyang baru tiba hari ini. Beliau juga berpesan kepada santri baru nya agar memantapkan niat mereka ketika sudah berada di Pondok Pesantren, karena mereka akan dilatih untuk hidup mandiri dan disiplin serta jauh dari orang tua dan teman di kampung halaman mereka.
“Ingat, anak-anakku kalian disini bukan berarti kalian di asingkan oleh keluarga. Tapi kalian disini akan belajar menghafal Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Bahkan bukan hanya sebatas itu saja tetapi juga pengetahuan umum lainnya juga akan kalian pelajari. Jangan merasa sedih tinggal di Pondok Pesantren. Karena kelak kalian akan membawa banyak imu dan pengalaman setelah lulus dari sini. Apalagi jika kalian rajin menghafal Al-Qur’an hanya perlu waktu tiga tahun abi yakin kalian akan bisa mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an kalian. Dan ketika kalian kembali ke kampung halaman kalian, kalian sudah berhasil menjadi Hafidz dan Hafidzoh dambaan keluarga kalian di rumah.” nasehat Abi yang langsung diamini oleh para santri.
  Setelah selesai acara Nayla dan Alfiyah kembali ke kamar mereka. Di dalam kamar tersebut ada dua ustadzah yang bertugas sebagai ketua kamar mereka. Ustadzah Dilah dan Ustadzah Nufus. Kedua ustadzah itu pun menyuruh santriwati di kamar itu tidur, karena waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
  “Nay, aku kangen sama keluarga ku di rumah, Dinda dan Ilham, padahal baru dua hari aku tidak bertemu mereka.” ucap Alfiyah sambil meneteskan air mata.
  “Sabar, Fi. Aku juga kangen sama keluarga di rumah, yah walaupun sekarang ayah ku masih di sini tapi kan hanya dua hari ayah boleh menginap di sini. Ingat pesan abi tadi,Fi.” jawab Nayla menenangkan sahabatnya itu.
                                                                       *****
  Malam ini Dinda begitu sibuk, dilihat jam di kamar nya menunjukan pukul sepuluh malam. Sudah banyak tumpukan kertas origami dan karton di kasur nya. Benda-benda itu membuat seisi kamar Dinda berantakan. Namun ia bangga ketika melihat seragam baru yang ditaruh ibunya di meja belajar Dinda. Yah.. seragam putih-biru. Besok Dinda, Ilham serta semua murid baru di SMP nya akan mengikuti MOS(Masa Orientasi Siswa). Setelah memastikan semua perlengkapan MOS besok sudah lengkap Dinda pun merapikan kasurnya dan segera tidur.
  Hari ini tak begitu menyenangkan bagi Dinda dan Ilham, karena cuaca hari ini tidak begitu bersahabat. Peserta MOS yang sudah berkumpul dilapangan sekolah sejak tadi pagi berduyun-duyun ke bawah tangga sekolah untuk berteduh. Semua jenis barang-barang yang mereka bawa untuk persyaratan mengikuti MOS basah dan hampir tidak layak lagi. Begitu pula barang-barang yang dibawa Dinda dan Ilham. Dinda mulai gelisah, sebab ia takut kalau nanti pengurus OSIS marah jika tahu barang yang ditugaskan untuk dibawa hari ini robek terkena hujan.
  “Tidak apa-apa dek, kami maklum kok, kami hargai semua usaha kalian. Walaupun kami tidak bisa melihat hasil tangan kalian yang sudah robek itu.” ucap salah satu kakak OSIS yang membuat Dinda dan Ilham merasa lega.
  Ketika pembagian kelas di umumkan, semua siswa baru di kumpulkan di aula sekolah. Mereka begitu menyimak setiap nama dan kelas yang disebutkan oleh Bapak Kepala Sekolah. Suasana saat itu begitu hening. Begitu pun dengan Dinda dan Ilham yang sedang sibuk berdoa agar mereka disatukan dalam kelas yang sama.
“Kelas VII.B, Amiluddin, Aini Damayanti, Muhammad Ilham, Putri Tania, IrwansyahRidwan, Dinda Safitri,...” terdengar suara lantang Bapak Kepala Sekolah didepan sana. Dinda dan Ilham pun langsung berteriak histeris ketika nama mereka berdua disebutkan dalam satu kelas yang sama. Teriakan mereka berdua pun membuat teman disamping mereka terganggu. Setelah pembagian kelas selesai seluruh siswa baru di perbolehkan untuk pulang. Karena kegiatan belajar-mengajar baru aktif besok. Dinda dan Ilham tidak langsung pulang. Mereka menyempatkan diri datang ke rumah pohon tempat mereka selalu bermain dulu. Rumah pohon itu sangat basah dan banyak sekali daun-daun kering di sekelilingnya. Hujan yang begitu deras tadi pagi membuat rumah pohon menjadi sangat kotor. Mereka sibuk membersihkan rumah pohon itu.
  “Ham, rumah pohon sepi yah kalau cuma kita berdua yang ada di sini.” ucap Dinda sambil memandangi ukiran di pohon itu. Ukiran itu bertuliskan nama mereka berempat, Ilham, Alfiyah, Dinda, dan Nayla. Serta satu ukiran lagi yang sangat bermakna artinya “Tentang Kita”
  Ilham yang masih sibuk membersihkan lantai rumah pohon yang terkena air hujan itu pun hanya bisa merangkul sahabatnya. Ilham sangat mengerti kesedihan yang sedang dirasakan oleh sahabatnya sekarang. Ia pun juga tak bisa memungkiri perasaan sedih itu, tapi ia harus terlihat tegar di depan Dinda, karena ia adalah seorang lelaki yang harus terlihat kuat meski hatinya juga sedih.
                                                                    *****
Enam bulan kemudian...
  Malam sudah hampir larut, namun semua santri di kamar itu belum juga tidur seperti malam-malam sebelumnya. Mereka masih sibuk mengemas baju-baju dan peralatan lainnya ke dalam tas dan beberapa koper yang mereka miliki, raut wajah mereka begitu ceria malam ini, para santriwati itu seakan tidak peduli lagi dengan rasa kantuk yang menyerang mereka sejak Abi mengumpulkan para santri di aula Pesantren ba’da isya tadi. Abi mengatakan bahwa besok seluruh santri diperbolehkan pulanguntuk liburan Semester Ganjil. Abi juga mengatakan agar para santri nya dapat menjaga sikap dan prilaku ketika berada di masyarakat nanti, karena status mereka sekarang adalah “Santri”. Dinda dan Alfiyah terlihat membawa banyak sekali ukiran kaligrafi buatan mereka sendiri, untuk dijadikan oleh-oleh saat mereka tiba di Aceh nanti.
Pagi hari yang sudah dinantikan itu pun akhirnya tiba. Sekitar pukul tujuh pagi sudah tampak beberapa wali murid yang menjemput anak-anaknya. Peraturan di Pondok Pesantren itu adalah bahwa semua santri ketika akan pulang ke rumah wajib dijemput oleh wali nya. Nayla masih sibuk mengutak-atik layar handphone milik Ustadzah Nufus, Nayla hanya ingin memastikan dimana keberadaan ayahnya sekarang. Sebab satu persatu teman sekamarnya hampir setengahnya sudah dijemput oleh keluarganya masing-masing.
  Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, telah berlalu. Hingga sang mentari tenggalam dan malam mulai datang. Jemputan yang di tunggu Nayla dan Alfiyah tak kunjung datang. Hanya tinggal empat orang lagi di kamar itu yang hingga kini masih menunggu jemputan nya. UstadzahDilah pun menghampiri keempat anak kamar nya yang sedang gelisah itu.
  “Bersabarlah, jemputan kalian pasti datang, wajar kalau lama, kalian ini kan perantau. Jadi kalau ingin sampai ke Jogja, harus menyebrangi lautan dulu. Daripada kalian bosan menunggu, lebih baik kalian nyetorhafalan ke Ustadzah.” ucap Ustadzah Dilah kepada keempat anak yang sedang gelisah itu.
  Akhirnya mereka mengikuti ajakan positif Ustadzah Dilah, mereka langsung mengambil air wudhu dan mukena, lalu mengambil Al-Qur’an untuk mulai menyetorkan hafalan baru kepada Ustadzah Dilah. Tak berapa lama kemudian Ustadzah Nufus datang dan memberi tahu kepada Nayla dan Alfiyah bahwa jemputan mereka sudah datang. Nayla pun segera meminta izin kepada Ustadzah Dilah untuk menemui ayah nya di aula tamu. Ustadz Ubay menyarankan ayah Nayla agar menginap saja di kamar wali santri, karena malam sudah semakin larut.
  Setelah memakan waktu dua hariuntuk perjalanan Jogja-Aceh. Akhirnya menjelang sore mereka baru tiba di Aceh. Sedikitnya sudah banyak yang berubah dari kampung halaman mereka. Mereka disambut keluarga mereka di rumah. Dinda dan Ilham belum nampak ketika mereka menginjakan kaki di rumah. Malam hari nya Dinda dan Ilham segera mengunjungi rumah sahabatnyaitu. Mereka melepas kerinduan satu sama lain, setelah enam bulan lamanya mereka tidak berjumpa.
  Waktu liburan yang cukup panjang itu mereka habiskan untuk bermain bersama dan bertukar informasi tentang apa yang sudah mereka dapatkan disekolah masing-masing. Sampai akhirnya mereka membuat suatu pernyataan yang harus benar-benar mereka jalankan dan wujudkan. Pernyataan itu berisi:
” Kita berempat harus berhasil dan sukses setelah lulus sekolah nanti. Walaupun sekarang persahabatan kita terhalang oleh jarak dan waktu. Tapi kita harus yakin kalau kita akan bersatu lagi di gerbang kesuksesan itu. Untuk menuliskan lebih banyak lagi cerita tentang kita. Dan rumah pohon ini akan jadi saksi bisu tentang kita yang terjadi kemarin, sekarang dan di masa depan kita nanti.”
Setelah liburan Semester Ganjil itu berakhir, mereka kembali memulai aktifitas seperti biasanya. Nayla dan Alfiyah kembali lagi ke Jogja untuk pulang ke Pesantren. Dinda dan Ilham pun juga kembali bersekolah seperti biasa.
*****
  3 Tahun Kemudian...
Waktu terasa begitu cepat, sekarang empat serangkai itu sudah menyelesaikan sekolah tingkat pertama mereka. Ada yang berbeda saat mereka memasuki Sekolah Menengah Atas, mereka tidak lagi bersama-sama. Bahkan mereka jarang sekali berkumpul dan bermain saat liburan tiba. Tidak seperti saat mereka masih di Sekolah Menengah Pertama. Mereka sudah mulai di sibuk kan dengan aktifitas dan tugas mereka di sekolah. Dinda kini melanjutkan sekolah ke SMA favorit di daerah nya, namun disekolah nya yang sekarang Dinda tidak bersama Ilham lagi. Ilham memilih melanjutkan pendidikan nya di SMK favorit di daerahnya juga. Begitu pula dengan Nayla dan Alfiyah. Mereka sudah tidak satu pondok lagi. Nayla mendapatkan beasiswa ke Kairo, karena Nayla telah selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an dalam waktu 3 tahun. Sedangkan Alfiyah masih berada di Jogja, Alfiyah baru mampu menghafalkan Al-Qur’an sampai Juz 20 dalam 3 tahun ini.
  Ada rindu yang terselip dari lubuk hati mereka. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak, mereka sudah tidak bisa menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Hanya doa yang bisa mereka panjatkan kepada sang Maha Pencipta, agar mereka bisa berkumpul bersama lagi dan bisa menikmati kesuksesan bersama-sama. Mereka selalu ingat dengan janji dan harapan yang mereka ukir di rumah pohon.
*****
4 Tahun Kemudian..
Di Kairo, Nayla mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, hidup sebagai perantau di negeri orang. Mengenal berbagai macam latar belakang orang yang berbeda-beda kewarganegaraan nya. Bahkan Nayla tidak hanya beradaptasi dengan masyarakat saja tapi ia juga harus beradaptasi dengan suhu dan musim di Kairo. Sungguh sebuah pengalaman hidup yang berharga yang ia dapatkan di Kairo. Saat melanjutkan Kuliah di Kairo, Nayla di pilih menjadi asisten dosen di Universitas Al-Azhar. Ia mendapat beasiswa lagi ketika akan melanjutkan Kuliah nya.
  Lain halnya dengan ketiga sahabatnya di Indonesia. Setelah lulus SMK, Ilham melamar kerja disebuah perusahaan pajak. Karena di SMK nya dulu ia mengambil jurusan Akuntansi Perpajakan. Dari hasil menjadi Akuntan Pajak kini Ilham telah mampu membeli sebuah rumah mewah untuk Ibu dan Ayah nya di Aceh.
  Dinda yang ketika SMA, mengambil jurusan IPA, kini ia membuka usaha bimbingan belajar di rumahnya. Murid nya kini sudah menembus angka puluhan, dan kebanyakan di antara mereka datang dari berbagai daerah.
  Tak ketinggalan pula, Alfiyah yang telah menamatkan pendidikan nya di Pondok Pesantren, kini di persunting oleh seorang anak kyai di tempat nya mondok. Saat ia telah khatam Al-Qur’an 30 Juz, keluarga kyai nya datang melamar Alfiyah. Alfiyah dan keluarganya pun menerima lamaran anak kyai tersebut. Waktu dan tanggal yang tepat pun telah di tentukan. Undangan segera di sebar. Dan ketika mendapat undangan pernikahan dari Alfiyah. Ketiga sahabatnya berencana akan berkumpul bersama lagi sebelum Alfiyah melepas masa lajang nya. Nayla juga menyempatkan diri pulang ke Indonesia.
Mereka berempat berkumpul bersama di rumah pohon tempat dulu mereka menghabiskan waktu bersam. Mereka membuka lagi tiap ukiran yang sudah mereka ukir di rumah pohon tersebut. Terlihat kumuh dan tak layak lagi rumah pohon itu. Maklumlah mereka sudah jarang lagi singgah di rumah pohon, kesibukan lah yang menjadi alasan utama mereka tidak sempat untuk singgah sebentar ke rumah pohon. Mereka juga membuka lagi ukiran di rumah pohon yang berisi janji dan harapan mereka dimasa depan nanti. Dan inilah gerbang kesuksesan yang mereka maksud. Kini mereka sudah dapat berkumpul bersama lagi dengan cerita kesuksesan yang berbeda-beda. Mereka juga sangat bahagia serta sedih melihat Alfiyah akan di pinang oleh calon suami nya besok. Bahagia karena sahabat mereka telah mendapat jodoh yang terbaik untuk nya, sedih karena ia akan berstatus seorang istri yang itu semua akan membuat Alfiyah sudah tidak bisa bermain dan berkumpul bersama kapanpun dan dimanapun sebab, ia akan tinggal bersama suami nya di Jogja, tinggal di Pesantren untuk mengabdi pada suaminya serta pondok yang sudah 7 tahun memberikannya banyak ilmu.
  “Tenang sahabatku, aku takan melupakan setiap kenangan indah tentang kita. Terimakasih untuk hari-hari yang indah yang telah kalian berikan. Terimakasih juga untuk hari ini. Di akhir masa lajang ku kalian telah berhasil menghibur ku. Doakan aku agar aku bisa menjadi seorang istri yang taat pada suamiku nanti, tetaplah menjadi sahabat terbaik ku.” ucap Alfiyah sambil meneteskan air mata nya.
  “Kami selalu ada untuk mu Fi, sering-sering lah untuk pulang ke Aceh, kami akan sangat merindukan mu Alfiyah.” balas Ilham yang terlihat lebih kuat dibanding kedua sahabat perempuan nya yang masih terus menangis sambil memeluk Alfiyah.
“Cerita tentang kita takan berhenti di hari ini, masih banyak tentang kita yang harus kita ukir lagi di sini sahabat, biarlah rumah pohon ini yang menjadi saksi bisu nya.”
                                           Ilham, Dinda, Nayla, Alfiyah
Ilham menambahkan satu ukiran lagi di rumah pohon ini. Dan menandatangani nya. Kelak ketika mereka sudah berkeluarga dan memiliki keturunan mereka akan membawa anak-anak mereka bermain di rumah pohon ini. Dan menunjukan kepada putra-putri mereka nanti bahwa di sinilah dahulu ayah/ibunya mengukir cerita persahabatan mereka.


Oleh :
Retno Ameliani 
Tangerang - Banten

Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik

Related Posts :