Cinta untuk Negeri



           http://kfk.kompas.com/image/preview/Y2VyaWE2LmpwZw%3D%3D.jpg
Pict by : Kompas
 bembsi.org - Langit belum terlihat cerah, matahari masih bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi yang memenuhi kota metropolitan. Sesekali terdengar suara khas sang raja subuh berusaha untuk membangunkan manusia. Waktu-waktu seperti ini biasanya digunakan para mahasiswa untuk bermanja di atas kasur empuk, membalut tubuh dengan selimut hangat, dan bercengkrama dengan udara pagi yang menerobos ke sela-sela tulang. Terlebih, sekarang adalah hari Minggu. Hanya ada sebagaian mahasiswa yang berlalu lalang di salah satu kampus ternama di Ibukota Indonesia itu, termasuk 4 mahasiswa yang sedang duduk di bawah pohon rindang di taman rektorat.
            “Kea, si Tera sudah dihubungi lagi, belum? Sudah hampir jam tujuh nih,” ucap seorang lelaki dengan jenggot tipis yang memenuhi sepertiga dagu lancipnya.
            “Sudah atuh, Dho. Dia noh dalam perjalanan sekarang,” jawab perempuan berjilbab biru dengan logat sundanya.
            “Ya sudah, kita tunggu Tera sebentar lagi, ya. Terlambat sedikit tak apa,” ujar lelaki yang biasa disapa Ridho tadi dengan logat Sumatera yang begitu khas.
            “Sembari menunggu Kea, ayo kita hitung kembali berapa banyak dana yang kita punya, barang yang akan dibawa, dan kita atur lagi rencana untuk nanti,” sambungnya kemudian.
            Keempat mahasiswa yang belum lama secara resmi melepas seragam putih abu-abu itupun langsung menghitung sejumlah uang dan mengecek barang-barang layak pakai yang ada di hadapan mereka. Sebagian uang dan barang bekas itu mereka dapatkan dari sumbangan beberapa teman dan dosen yang tentunya melalui proses dan rintangan yang panjang, sedang sebagiannya lagi adalah milik mereka dan orangtua. Rencananya, hari ini mereka akan terjun ke suatu perkampungan yang terletak di pojok kota Jakarta.
            “Hei sohib-sohibku. Assalamu’alaikum. Sudah lama ya, nunggu gue? Hihihi... Sorry deeeh... Tau sendiri, kan, kalo Jakarta itu terkenal dengan kota macet? Tapi yang penting sekarang gue udah bersama kalian. Jadi, ngga perlu bersedih hati, yaaa...” suara wanita berambut cepak seleher sambil memegang sebuah smartphone terbaru, memecahkan kekhidmatan Kea dan kawan-kawan.
            “Huuuu, Tera mah. Siapa yang sedih? Kita lagi ngitung dana kali. Makanya, besok jangan sampai telat lagi, ya! Kan kasian anak-anak yang mungkin sedang menanti kita,” seru Adi yang tak pernah melepas sepasang headset­ dari kedua telinganya.
            “Heheh, iya iya, gue tau. Lagian, kenapa harus pagi-pagi banget sih? Gue aja tadi belum sempat sarapan! Untung mama dan papa ngizinin gue. Kalau bukan bareng kalian, pasti mereka ngga bakal bolehin gue ikut beginian!” ucap Tera sambil mengeluarkan sekotak bekal dari tas ranselnya lalu memasukkan snack ke dalam mulut mungilnya.
            “Ya kan perjalanan kita ngga cukup ditempuh satu jam, Tera. Lagian, di sana nanti kita masih harus ngumpulin masyarakat. Kita juga kan ngga sebentar di sana,” sela Chella yang baru saja “mengkhatamkan” buku terbarunya yang tak lebih tebal dari buku ensiklopedi Islam.
            “Huuuh, akhirnya loe nyahut juga! Kirain tadi ngga tau kalau gue udah datang!” Seru Tera sedikit ketus.
            “Hihhii.. maaf, maaf.”
            “Sudah... sudah... Ayo kita berangkat!” ajak Ridho yang telah siap dengan semua perlengkapan, kemudian diikuti oleh yang lainnya.
            Mereka berlima sebenarnya baru akrab sejak tiga bulan yang lalu, yang saat itu tanpa sengaja bertemu di pelataran masjid kampus. Latar belakang keluarga dan sifat yang berbeda, serta munculnya masalah yang sering dialami membuat persahabatan mereka semakin erat. Aksi yang telah mereka lakukan pun tak hanya dirasakan di lingkungan kampus, namun jangkauannya lebih besar dari itu. Ketika ada bencana yang menimpa di sebagian provinsi, mereka turut andil meminta bantuan ke masyarakat sekitar dan warga kota. Tak hanya itu, mereka juga menciptakan solusi baru mengenai sampah yang berada di sekitar kampus yang sampai saat ini masih diterapkan dan menjadi peraturan baru bagi para mahasiswa, sehingga tak sedikit dosen yang kenal dengan mereka walaupun baru menjejakkan kaki di kampus sekitar tiga bulan.
            Setelah dua jam di perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di sebuah tempat kumuh yang berada di pinggir kota Jakarta. Banyak rumah-rumah kardus berdiri di sana yang  bercampur dengan sampah, hingga sulit untuk membedakan antara sampah sungguhan dengan rumah. Sungguh tak layak untuk ditinggali manusia. Melihat kedatangan Kea dan kawan-kawan, segerombol anak kecil berlarian menuju mereka. Kebanyakan dari anak kecil tersebut berbaju compang-camping dan kotor, bahkan ada yang hanya menggunakan selembar kain. Sungguh miris!
            Begitu kejamkah kehidupan di negeri demokrasi ini? Pemerintah dipilih dari rakyat, yang memilih juga rakyat, maka seharusnya mereka bekerja untuk rakyat! Mungkinkah “demokrasi” hanya sekedar formalitas belaka? Kenyataannya, ketika sudah berada “di atas”, ketika telah memiliki kekuasaan, semua seakan lupa dengan kewajiban sebagai lembaga negara. Lebih senang untuk membesarkan perut, beradu dengan sesama pejabat, berlomba mencapai kekuasaan tertinggi, hingga lupa dengan yang telah memilihnya, lupa dengan rakyat kecil yang terus menjerit dan menangis, menanyakan keadilan dan kesejahteraan.
            Masalah terus berdatangan, namun media seolah bungkam dengan kebenaran. Entah siapa yang telah “menyuap” dan dengan apa mereka “disuap”?! Yang jelas, semakin hari semakin banyak berita dan acara yang tak bermanfaat dan bernilai. Kebohongan-kebohongan terus berkuasa, membutakan hati rakyat. Antara kebenaran dan kesalahan amat susah dibedakan. Banyak prestasi anak bangsa yang tak terpublikasi. Banyak kriminalitas yang dilakukan orang-orang penting berdasi yang tak terekspos. Begitu banyak kekayaan negara yang semakin hari semakin menipis, terjual, dan dikuasai asing, namun tak disadari oleh rakyat. Sampai kapan hal-hal semacam ini terus berlanjut?
            Kita semua tahu, dunia pun tahu bahwa masa depan suatu bangsa ada di pundak para pemuda. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi kini? Sepertinya pemuda sudah lupa dengan kewajibannya sebagai penerus bangsa. Mereka lebih senang menghabiskan  waktu dan uang untuk hal yang tak berguna, bersenang-senang di tempat hiburan. Kenakalan remaja pun tak bisa dihindari. Banyak “kecelakaan” akibat pergaulan bebas yang semakin merajarela. Rokok dan narkoba sudah menjadi hal yang biasa bagi pelajar. Budaya Barat dengan mudah masuk ke otak para pemuda. Jika seperti ini, siapa yang harus disalahkan? Orangtua kah? Pemerintah? Atau pendidikan dan penanaman moral yang masih begitu kurang? Semua harus dimulai dari saling mengingatkan dan mengajak kepada kebaikan.
            Ridho dan kawan-kawan berjalan menelusuri perumahan kumuh itu hingga sampailah di ujung jalan, tepatnya di sebuah tempat ibadah sederhana yang tak lebih baik dari gubuk di sawah. Anak-anak kecil yang sedari tadi mengikuti mereka pun duduk di mushola itu. Banyak mata yang menaruh rasa curiga kepada mereka, namun tak sedikit pula yang memberikan senyuman haru plus bahagia atas kedatangan Ridho dan kawan-kawan.
            Selanjutnya, Kea, Adi, Ridho, Chella, dan Tera menanyakan kepada anak-anak kecil tersebut, baik tentang pekerjaan orangtua dan kesehariannya, tentang kegiatan yang biasa mereka lakukan, tentang pendidikannya, maupun tentang suka-duka hidup di kampung kumuh ini. Tak hanya kepada anak-anak, Kea dan kawan-kawanpun bertanya kepada para orang dewasa yang hadir di situ. Ada yang menjawab sambil sedikit terisak, ada yang menjawabnya dengan penuh kebahagiaan, namun ada juga yang bersikap ketus ketika ditanya.
Banyak dari para orangtua yang berharap untuk tak pernah tinggal di tempat kumuh seperti itu. Namun ada juga yang berpendapat lebih baik tinggal di situ daripada tidak memiliki rumah, walaupun terkadang ada aparat keamanan yang turun. Mereka terpaksa menjalaninya karena tak mampu hidup di tengah majunya dunia dan mahalnya biaya hidup. Memang, perekonomian Indonesia kini sangat lemah. Semua barang pokok naik dibanding tahun sebelumnya. Tak hanya itu, mereka juga berharap kepada para petinggi negara agar memperhatikan rakyat kecil yang tidak hanya berada di lingkup kota metropolitan, namun juga di seluruh bagian Indonesia. Tentu masih begitu banyak rakyat yang merasakan penderitaan yang sama.
“Adik-adik, kami punya hadiah untuk kalian. Ini rasa terima kasih kami karena bantuan kalian yang sudah mau menemani kami seharian lebih. Semoga kalian senang, ya... Dan Insha Allah kami akan datang ke sini sesering mungkin,” ucap Kea dengan rasa bahagia bercampur haru sambil ikut membagikan barang-barang yang sudah disiapkan tadi.
“Makasih Kakak. Tapi kata emak, aku ngga boleh pake kain ini (jilbab, red). Katanya ngga berguna,” sanggah seorang gadis kecil dengan muka polos.
“Hmmm, ya nanti dipake aja dulu. Bilang ke emak, kamu akan tambah cantik kalo pakek jilbab ini. Oh ya, ini nanti tolong kasih ke emak juga, ya,” jawab Kea dengan senyuman bahagia sambil menyerahkan sebungkus jilbab.
“Kakak... Kakak.. tapi kenapa kakak yang itu ngga pake jilbab?” seru gadis kecil lain sambil menunjuk ke arah Tera.
Sontak, Tera merasakan layaknya sebuah palu menghantamnya! Kenapa bisa ada seorang anak kecil yang menanyakan hal semacam itu kepadanya? Seketika, ia pun menjadi pusat perhatian hingga merasa kikuk.
“Heheh.. Punya Kakak ada di rumah, baru dicuci tadi pagi,” ucap Tera mencoba berdalih.
“Ooooh,” jawab anak-anak itu sambil manggut-manggut polos.
Setelah cukup lama berbincang, Kea dan kawan-kawan pun pamit, mengingat matahari yang seolah berjalan semakin cepat ke Barat.
“Nah, Ter, gimana?” tanya Adi dengan polosnya ketika mereka sudah berada di mobil.
“Apanya yang gimana?” jawab Tera seolah tak tahu.
“Tentang hari ini. Seru, kan?  Gue bisa menjamin 100% kalo loe belum pernah beraksi dan datang ke tempat seperti tadi. Ya secara, mungkin loe menghabiskan weekend hanya untuk melepas lelah di mall dan tempat hiburan lainnyaa,” sindir Adi yang telinganya enggan lepas dari headset.
“Yeee.. itu dulu daan duluu kali... loe lupa kalo sekarang gue udah berteman sama kalian-kalian yang super ini? Jujur yee, gue belum pernah datang ke tempat seperti ini, dan tadi di awal, gue merasa jijik banget! Rasanya pengen pulang aja deh. Tapi, setelah melihat anak-anak kecil yang masih dapat tersenyum dengan ikhlas di tengah keadaan yang sangat tidak mendukung, baru deh hati gue bergetar. Ternyata, mata hati gue selama ini masih tertutup sangat rapat bahkan tergembok. Dan gue menemukan kuncinya ketika anak perempuan yang nanya tentang jilbab tadi,” ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sudah.. sudah.. nanti saya jadi serasa nonton movie pula! Mengenai pertemuan tadi, ternyata tak terlalu buruk, ya, walaupun ini baru pertama kalinya untuk kita secara bersama-sama. Gimana, mau Ridhojutin?” tanya Ridho sambil sesekali menoleh ke belakang. Maklum, ia duduk di bangku paling depan menemani supirnya Tera.
“Ya, kalau menurut abdi teh, kenapa kita harus berhenti diawal perjalanan? Rasanya percuma atuh. Toh ternyata masih begitu banyak warga, terutama anak kecil yang sedang membutuhkan uluran tangan kita. Dan kita sebagai mahasiswa, seharusnya paham bahwa ada begitu banyak harapan rakyat yang tertumpu di bahu kita. Kini, tugas kita untuk melaksanakan itu. Kewajiban kita untuk menyalurkan aspirasi dan membantu mereka,” seru Kea dengan semangat yang membara.
“Yup, betul banget! Berdasarkan buku yang Chella baca, setiap akhir tahun, dana di kementrian begitu melimpah dan mereka bingung mau diapakan dana itu. Maka, ini adalah kesempatan kita untuk mulai membuat perubahan terutama di lingkungan masyarakat yang berada sekitar Jakarta. Selain itu, dari buku yang Chella baca juga, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain,” sambung Chella dengan optimis dan penuh keyakinan.
“Yeee, kalo yang kedua mah, gue juga tahu, keless,” sela Tera.
“Iya iya.. Chella kan cuma mengingatkan,” Chella tak mau kalah.
“Sudah.. sudah.. Memang benar apa yang dikatakan Chella. Dari pada uang yang ada di kementrian itu disalahgunakan, lebih baik kita minta sebagian untuk membangun dan mencerdaskan anak-anak yang belum bisa bersekolah tadi,” Ridho menengahkan.
“Hmmm, Oke deh. Nanti gue bakalan cerita tentang hari ini ke papa dan gue minta beliau untuk membantu,” semangat Tera membara.
“Siiip, abdi teh  bakal bilang juga ke abah biar beliau bisa mengasih sedikit saran untuk kita selanjutnya,” Kea menambahkan.
“Chella juga siap menyari informasi sebanyak-banyaknya,” Chella tak mau kalah.
“Gue siih, ya tinggal jadi perkap aja deh.. bantu-bantuin untuk ngangkat barang, dan lain-lain, heheh..” candaan Adi yang langsung mendapat sorakan dari teman yang lain.
“Bagus.. bagus.. hmm, tugas gue mengkoordinir kalian semua aja deh. Oke?” timpal Ridho.
“Oke,” jawab yang lain serempak.
Matahari semakin cepat berjalan ke arah Barat, mencoba memberi kehangatan kepada sebagian penduduk bumi lainnya. Deru mobil yang Ridho dan kawan-kawan naiki semakin tak terdengar, ditelan oleh bisingnya suara hiruk pikuk manusia dan klakson kendaraan yang terjebak macet Jakarta. Terbesit di fikiran mereka masing-masing, sampai kapan kemacetan terus hinggap di Indonesia?
***
Hari berganti dengan minggu-minggu panjang yang kemudian melahirkan bulan dan menjelma menjadi tahun. Tak terasa, 18 bulan telah terlewati. Banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan Kea, Adi, Ridho, Chella, dan Tera. Mereka pun semakin sibuk dengan tugas kampus dan organisasi mahasiswa.
Namun, di tengah kesibukan mereka, tak satu pun yang dapat menghalangi jika ada  yang mengajak bertemu demi membahas rencana yang telah terikrar 18 bulan lalu, yakni membantu masyarakat kecil terutama anak-anak yang berada di sekitar Jakarta. Kini, usaha mereka mulai membuahkan hasil. Tak sedikit media yang membicarakan mereka, juga ada beberapa pejabat yang sering memberi bantuan kepada mereka, mungkin itu merupakan bentuk pedulinya terhadap rakyat kecil. Dan tentu saja, mereka semakin dikenal di kampus.
Sungguh, harapan untuk merubah negeri ini menjadi lebih baik tentu masih ada bahkan masih terbuka lebar. Tentu saja dengan kesadaran dari masing-masing individu dan dimulai dari para pemuda bangsa. Karena kalau bukan pemuda yang bertindak, siapa lagi?


Oleh :
Ummu Salamah 

Universitas Negeri Semarang 

Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik

Related Posts :