
Pict by : kammimadani.files.wordpress.com
bembsi.org - Entah sudah berapa lama aku menyimpan
kekesalan pada ayahku. Jujur saja, aku iri dengan teman-temanku yang selalu
membangga-banggakan ayah mereka. Ada saja hal yang bisa dibanggakan dari ayah
mereka, entah mengenai pekerjaannya ataupun kekuasaan ayah mereka. Berbeda
dengan ayahku yang tidak bisa kubanggakan. Ia tak lebih dari seorang ayah yang
hanya bisa berbaring di tempat tidur karena telah kehilangan kedua kakinya.
Pernah
suatu ketika, aku merasa kelelahan karena harus merawat ayahku sendirian di
tengah-tengah tugas sekolahku yang sangat menumpuk. Tak ada orang lain yang
membantuku mengurus ayah. Maklum, ibuku sangat sibuk karena harus menggantikan
peran ayahku sebagai tulang punggung keluarga, sehingga akulah yang mengemban
tugas sebagai anak tunggal dalam menggantikan peran ibuku mengurus rumah
tangga, termasuk merawat ayahku.
Pagi
itu, sebelum berangkat ke sekolah, aku memungut selebaran iklan yang
dilemparkan ke halaman rumahku. Selebaran itu bertuliskan “DIBUKA PANTI WERDHA
UNTUK MERAWAT PARA LANSIA.” Cepat-cepat setelah membaca selebaran tersebut, aku
membawanya ke dalam rumah untuk ditunjukkan kepada ibuku yang belum berangkat
kerja.
“Ibu,
lihat ini!” kataku bersemangat.
Ibu
menerima selebaran itu dengan sedikit bingung dan bertanya-tanya.
“Apa
maksudnya kamu memberikan selebaran ini kepada ibu?” tanya ibuku.
“Bu,
mengapa ayah tidak ditempatkan di Panti itu saja? Panti itu dekat dengan rumah
kita. Jadi, jika sewaktu-waktu kita ingin mengunjungi ayah, kita tidak akan
kesulitan. Jujur saja, bu, aku malu jika teman-teman sekolahku berkunjung ke
rumah kita dan melihat kondisi ayah. Mereka cenderung mengolok-olok ayah!” jawabku
dengan nada tinggi. Air mataku sudah mulai turun karena aku benar-benar tersakiti
setiap kali aku mengingat ejekan yang keluar dari mulut teman-temanku tentang
ayah.
Ibu
memelukku, mencoba menenangkan sambil menasehati aku. “Dinda, kamu tidak boleh
berbicara seperti itu. Orang-orang boleh menghina ayah, tetapi ayah Arya
tetaplah ayahmu. Kau tidak sepantasnya malu dengan keadaan ayahmu, nak!” kata
ibu.
Aku
hanya terdiam mendengar perkataan ibuku itu. Karena aku takut terlambat ke
sekolah jika terlalu lama berbincang dengan ibu, aku pun segera berpamitan dan
bergegas meninggalkan rumah.
Tak
aku sangka, hari itu rupanya benar-benar merupakan hari yang membuatku pusing.
Di sekolah, tiba-tiba saja ibu guru memberikan tugas kepada seluruh murid untuk
menuliskan cerita mengenai kebanggaan akan sosok ayah. Parahnya lagi, ibu guru
juga meminta seluruh murid untuk mempresentasikan cerita tersebut di depan
kelas minggu depan. Aku kesal bukan kepalang. “Entah apa yang harus kubanggakan
dari ayahku saja aku tidak tahu, bagaimana aku harus menceritakan hal tersebut
di depan kelas?” ujarku dalam hati.
Sepanjang
berada di sekolah, aku terus menerus memikirkan masalahku ini. Bisa-bisa otakku
meledak memikirkan hal itu sepanjang hari. Akhirnya bel pulang sekolahpun
berbunyi dan aku segera bergegas untuk pulang. Sampai di depan rumah aku berhenti
sejenak, kuperhatikan pintu depan rumahku sudah terbuka.Kulihat sepatu yang
biasa ibu pakai untuk bekerja juga ada di halaman rumah. Rupanya hari itu ibu
pulang bekerja lebih awal.
Setelah beberapa
langkah memasuki rumah, kulihat pintu kamar orang tuaku juga tidak ditutup. Aku
pun mencoba mendekati kamar mereka. Ternyata mereka sedang melakukan
perbincangan yang cukup serius. Dari luar kamar, aku bisa mendengar percakapan
antara ayah dan ibu. Mereka tidak tahu kalau aku diam-diam menguping.
“Bu, sudahlah, kalau
Dinda memang ingin aku ditempatkan di Panti Werdha, aku tidak masalah. Aku rasa
ide itu juga bukan merupakan ide yang buruk. Mungkin Dinda sudah sangat lelah
merawatku selama ini. Lagipula, di sana aku bisa memiliki lebih banyak teman
untuk mengobrol,” ujar ayah dengan nada pelan.
“Tidak ayah, aku tidak
setuju dengan rencana anak kita. Tidak sepantasnya ia berpikir untuk menempati
ayah di Panti Werdha,” sahut ibu.
Mendengar perkataan ibu
tersebut, aku segera memasuki kamar mereka. Kulihat ayah dan ibu terkejut
karena aku masuk secara tiba-tiba di sela-sela pembicaraan mereka. Tanpa pikir
panjang, aku langsung berteriak.
“Bu, ayah saja sudah
setuju dengan rencanaku. Kenapa sih ibu mencoba menghalang-halangi
rencanaku?!?”ujarku sambil mengeluarkan nada tinggi.
Tiba-tiba ibu berdiri
dari kursi yang didudukinya dan menghampiriku. Tangan kanan ibu hendak melayang
menampar pipiku. Dengan menahan rasa sakit di pipi, aku memberanikan diri
melanjutkan perkataanku.
“Bu, ibu tidak tahu
rasanya menjadi aku. Aku selalu tersakiti setiap kali teman-temanku
mengolok-olok tentang kondisi ayah. Dan perlu ibu tahu, aku mendapat tugas dari
sekolah untuk menuliskan cerita mengenai kebanggaan akan sosok ayah dan
mempresentasikannya di kelas minggu depan. Lalu apa yang bisa kuceritakan, bu?
Aku tidak tahu hal apa yang harus kubanggakan dari sosok ayahku. Aku malu
dengan teman-temanku, bu,” aku mencoba mengatakan apa yang kurasakan kepada
ibu.
“Dinda,
berhenti! Jangan berbicara seperti itu lagi! Kau benar-benar sudah keterlaluan
kepada ayahmu sendiri!” ujar ibu dengan perkataannya yang sangatmembentakku.
Aku sadari bahwa saat itu ibu benar-benar marah kepadaku. Lalu, tanpa
mengatakan apapun, ibu tiba-tiba saja menarik tangankumembuatku berjalan
mengikuti langkah kakinya. Aku berusaha menarik tanganku kembali namun ibu tak
mau melepaskannya. Sekuat tenaga kucoba sekali lagi, namun ibu tetap tak mau
melepaskan tanganku.Akhirnya kusadari, ternyata ibu hendak membawaku ke gudang
rumah.
Aku
masih belum tahu apa maksud ibu mengajakku ke gudang rumah. Tak lama kemudian,
ibu membuka kain penutup yang selama ini menutupi sebuah sepeda yang sudah
hancur tak karuan. Aku kaget melihat sepeda itu, sekaligus bertanya-tanya
mengapa ibu menyimpan sepeda tersebut. Selama ini aku memang tidak pernah
melihat sepeda itu, sebab ibu selalu menutupi sepeda tersebut dengan kain
hitam. Aku sendiri juga tidak pernah mencurigai apa yang ditutupi oleh ibuku
dengan kain hitam itu.
“Ibu,
mengapa ibu memperlihatkan sepeda yang sudah hancur ini kepadaku?” aku mulai
bertanya.
“Ada
sesuatu yang harus ibu ceritakan kepadamu. Sebelas tahun yang lalu, saat kamu baru
berusia enam tahun, pertama kalinya kamu harus pergi karyawisata sekolah dengan
teman-temanmu selama tiga hari. Kamu masih ingat kan, Dinda?” ujar ibu
kepadaku.
Aku
mengangguk.
“Hari
itu kamu pulang sekitar jam tujuh malam dan ayah bersikeras untuk menjemputmu
karena ia tidak bisa menahan rindu setelah tidak berjumpa denganmu selama tiga
hari. Ibu sudah melarang dan mengatakan bahwa lebih baik kamu dititipkan dulu
di rumah temanmu agar bisa dijemput esok paginya, tetapi ayahmu tetap saja
bersikeras ingin menjemputmu pulang. Dan kamu tahu mengapa ibu melarang ayahmu?...”
Ibu
terdiam sejenak dan melanjutkan perkataanya. “Ayahmu memiliki penyakit rabun
senja, Dinda. Seseorang yang memiliki penyakit rabun senja akan mengalami
kesulitan untuk melihat di malam hari. Namun ayah yang bersikeras menjemputmu
tidak mendengarkan perkataan ibu. Benar saja, hari itu ayah tidak melihat bahwa
terdapat sebuah truk besar yang berjalan berlawanan arah dengan sepeda yang
dikayuhnya. Ayah pun tertabrak dan kedua kakinya terlindas oleh truk tersebut.
Itu sebabnya ayahmu kehilangan kedua kakinya,” ujar ibu sambil menangis
dihadapanku.
Aku
benar-benar kaget mendegar cerita ibu.
“Ibu,
kenapa baru sekarang ibu menceritakan hal itu semua kepadaku? Kenapa ibu tidak
menceritakannya sejak dari sebelas tahun yang lalu saat aku pulang ke rumah dan
bertanya-tanya mengapa kaki ayah tiba-tiba hilang?” protesku kepada ibu.
“Ayahmu
yang melarang ibu menceritakan hal ini kepadamu. Ayah tidak mau kamu
menyalahkan dirimu karena peristiwa yang menimpanya. Tetapi ibu sudah tidak
bisa menutup-nutupi hal ini lagi darimu. Ibu tidak tahan dengan sikapmu kepada
ayah. Apakah masih pantas kamu kerap kali mengatakan bahwa kamu malu dengan
ayahmu dan tidak ada hal yang bisa kamu banggakan dari ayahmu?” ujar ibu.
Aku
langsung diam. Tercengang. Benar-benar kaget mendengar perkataan ibuku. Tanpa berbicara lagi, aku pun langsung berlari
pergi ke kamar ayah. Sesampainya di kamar ayah, aku segera memeluk dirinya
sambil menangis dan berkata “Ayah..... Maafkan aku....” Berkali-kali aku
mengatakan maaf kepada ayahku. Air mataku pun semakin deras membanjiri kedua
pipiku.
“Sudah-sudah,
jangan menangis lagi, ayah paling tidak suka melihat anak ayah yang paling
manis ini menangis. Tenang saja, seorang ayah tidak mungkin tega menolak untuk memaafkan
putrinya sendiri yang sangat dicintainya,” ujar ayahku sambil mengusap-usap
punggungku dalam pelukannya.
Aku
termenung. Ada sesuatu yang menyentuh relung hatiku, makna kehidupan. Ya, ada
makna kehidupan yang dapat dipetik dari kisah aku dan ayahku. Tak seharusnya
selama ini aku malu dengan kondisi ayahku. Keteduhan benar-benar terasa di
hatiku, saat aku hendak memeluk ayahku.
“Terima
kasih, Tuhan. Engkau telah membukakan mata hatiku,” ucapku dalam hati. Aku
sadar bahwa justru ayahku lah yang paling bisa dibanggakan di antara
teman-temanku. Sampai saat ini, aku tidak pernah mendengar keluhan apapun yang
keluar dari bibir ayahku mengenai kondisinya. Ia adalah ayah yang paling tegar
dan benar-benar menyayangiku. Seharusnya aku menyadarinya jauh sebelum aku tahu
tentang cerita ini.
Sambil
melepaskan pelukanku dengan ayah, aku bertanya kepada ayah, “Ayah, bolehkah aku
mendeskripsikan ayah dengan lima kata?”
“Tentu
saja boleh,” kata ayahku sambil tersenyum.
“Ayah
adalah pahlawan terhebat bagiku,” kataku di sela isak tangisku.
Ayah
kembali tersenyum mendengar perkataanku dan mengusap tetesan air mataku yang
tak kunjung reda. Dari cara ayah tersenyum, aku merasakan kebahagiaan yang luar
biasa. Tanpa kusadari pula, ibu berdiri tepat di belakangku dan menyaksikan
segala hal yang telah kukatakan kepada ayah. Ibu langsung memelukku.
“Ibu
senang, kamu akhirnya sadar,” ujar ibu sambil mengusap kepalaku.
“Bu,
aku juga ingin meminta maaf kepada ibu karena hari ini aku telah bersikap dan
berbicara tidak sopan kepada ibu,” kataku.
“Iya,
nak. Ibu memaafkan kamu...” jawab ibu dengan suara pelan.
Hari itu benar-benar
telah mengubah hidupku. Minggu depannya, aku pun tak ragu untuk menceritakan
sosok ayahku yang patut kubanggakan itu di depan teman-teman sekelasku. Kabar
baiknya, mereka pun ikut terharu dan tak pernah lagi mengolok-ngolok mengenai
kondisi ayahku. Salah satu temanku bahkan menghampiriku dan berkata “Aku
terharu mendegar ceritamu, Dinda. Ayahmu adalah pahlawan terhebat bagimu.” Aku
tersenyum sendiri mendengar perkataannya, kuingat itu adalah lima kata yang
kusampaikan kepada ayah ketika mendeskripsikan dirinya. Memang benar, AYAH
ADALAH PAHLAWAN TERHEBAT BAGIKU.
Oleh :
Cecilia Indrawan
Sunter - Jakarta Utara
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik
Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik