Lima kata untuk Ayah

https://kammimadani.files.wordpress.com/2012/04/537848_2816006363346_1354467306_2030969_1153400210_n.jpg?w=430&h=261&crop=1
Pict by : kammimadani.files.wordpress.com

bembsi.org - Entah sudah berapa lama aku menyimpan kekesalan pada ayahku. Jujur saja, aku iri dengan teman-temanku yang selalu membangga-banggakan ayah mereka. Ada saja hal yang bisa dibanggakan dari ayah mereka, entah mengenai pekerjaannya ataupun kekuasaan ayah mereka. Berbeda dengan ayahku yang tidak bisa kubanggakan. Ia tak lebih dari seorang ayah yang hanya bisa berbaring di tempat tidur karena telah kehilangan kedua kakinya.
            Pernah suatu ketika, aku merasa kelelahan karena harus merawat ayahku sendirian di tengah-tengah tugas sekolahku yang sangat menumpuk. Tak ada orang lain yang membantuku mengurus ayah. Maklum, ibuku sangat sibuk karena harus menggantikan peran ayahku sebagai tulang punggung keluarga, sehingga akulah yang mengemban tugas sebagai anak tunggal dalam menggantikan peran ibuku mengurus rumah tangga, termasuk merawat ayahku.
            Pagi itu, sebelum berangkat ke sekolah, aku memungut selebaran iklan yang dilemparkan ke halaman rumahku. Selebaran itu bertuliskan “DIBUKA PANTI WERDHA UNTUK MERAWAT PARA LANSIA.” Cepat-cepat setelah membaca selebaran tersebut, aku membawanya ke dalam rumah untuk ditunjukkan kepada ibuku yang belum berangkat kerja.
            “Ibu, lihat ini!” kataku bersemangat.
            Ibu menerima selebaran itu dengan sedikit bingung dan bertanya-tanya.
            “Apa maksudnya kamu memberikan selebaran ini kepada ibu?” tanya ibuku.
            “Bu, mengapa ayah tidak ditempatkan di Panti itu saja? Panti itu dekat dengan rumah kita. Jadi, jika sewaktu-waktu kita ingin mengunjungi ayah, kita tidak akan kesulitan. Jujur saja, bu, aku malu jika teman-teman sekolahku berkunjung ke rumah kita dan melihat kondisi ayah. Mereka cenderung mengolok-olok ayah!” jawabku dengan nada tinggi. Air mataku sudah mulai turun karena aku benar-benar tersakiti setiap kali aku mengingat ejekan yang keluar dari mulut teman-temanku tentang ayah.
            Ibu memelukku, mencoba menenangkan sambil menasehati aku. “Dinda, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Orang-orang boleh menghina ayah, tetapi ayah Arya tetaplah ayahmu. Kau tidak sepantasnya malu dengan keadaan ayahmu, nak!” kata ibu.
            Aku hanya terdiam mendengar perkataan ibuku itu. Karena aku takut terlambat ke sekolah jika terlalu lama berbincang dengan ibu, aku pun segera berpamitan dan bergegas meninggalkan rumah.
            Tak aku sangka, hari itu rupanya benar-benar merupakan hari yang membuatku pusing. Di sekolah, tiba-tiba saja ibu guru memberikan tugas kepada seluruh murid untuk menuliskan cerita mengenai kebanggaan akan sosok ayah. Parahnya lagi, ibu guru juga meminta seluruh murid untuk mempresentasikan cerita tersebut di depan kelas minggu depan. Aku kesal bukan kepalang. “Entah apa yang harus kubanggakan dari ayahku saja aku tidak tahu, bagaimana aku harus menceritakan hal tersebut di depan kelas?” ujarku dalam hati.
            Sepanjang berada di sekolah, aku terus menerus memikirkan masalahku ini. Bisa-bisa otakku meledak memikirkan hal itu sepanjang hari. Akhirnya bel pulang sekolahpun berbunyi dan aku segera bergegas untuk pulang. Sampai di depan rumah aku berhenti sejenak, kuperhatikan pintu depan rumahku sudah terbuka.Kulihat sepatu yang biasa ibu pakai untuk bekerja juga ada di halaman rumah. Rupanya hari itu ibu pulang bekerja lebih awal.
Setelah beberapa langkah memasuki rumah, kulihat pintu kamar orang tuaku juga tidak ditutup. Aku pun mencoba mendekati kamar mereka. Ternyata mereka sedang melakukan perbincangan yang cukup serius. Dari luar kamar, aku bisa mendengar percakapan antara ayah dan ibu. Mereka tidak tahu kalau aku diam-diam menguping.
“Bu, sudahlah, kalau Dinda memang ingin aku ditempatkan di Panti Werdha, aku tidak masalah. Aku rasa ide itu juga bukan merupakan ide yang buruk. Mungkin Dinda sudah sangat lelah merawatku selama ini. Lagipula, di sana aku bisa memiliki lebih banyak teman untuk mengobrol,” ujar ayah dengan nada pelan.
“Tidak ayah, aku tidak setuju dengan rencana anak kita. Tidak sepantasnya ia berpikir untuk menempati ayah di Panti Werdha,” sahut ibu.
Mendengar perkataan ibu tersebut, aku segera memasuki kamar mereka. Kulihat ayah dan ibu terkejut karena aku masuk secara tiba-tiba di sela-sela pembicaraan mereka. Tanpa pikir panjang, aku langsung berteriak.
“Bu, ayah saja sudah setuju dengan rencanaku. Kenapa sih ibu mencoba menghalang-halangi rencanaku?!?”ujarku sambil mengeluarkan nada tinggi.
Tiba-tiba ibu berdiri dari kursi yang didudukinya dan menghampiriku. Tangan kanan ibu hendak melayang menampar pipiku. Dengan menahan rasa sakit di pipi, aku memberanikan diri melanjutkan perkataanku.
“Bu, ibu tidak tahu rasanya menjadi aku. Aku selalu tersakiti setiap kali teman-temanku mengolok-olok tentang kondisi ayah. Dan perlu ibu tahu, aku mendapat tugas dari sekolah untuk menuliskan cerita mengenai kebanggaan akan sosok ayah dan mempresentasikannya di kelas minggu depan. Lalu apa yang bisa kuceritakan, bu? Aku tidak tahu hal apa yang harus kubanggakan dari sosok ayahku. Aku malu dengan teman-temanku, bu,” aku mencoba mengatakan apa yang kurasakan kepada ibu.
            “Dinda, berhenti! Jangan berbicara seperti itu lagi! Kau benar-benar sudah keterlaluan kepada ayahmu sendiri!” ujar ibu dengan perkataannya yang sangatmembentakku. Aku sadari bahwa saat itu ibu benar-benar marah kepadaku. Lalu, tanpa mengatakan apapun, ibu tiba-tiba saja menarik tangankumembuatku berjalan mengikuti langkah kakinya. Aku berusaha menarik tanganku kembali namun ibu tak mau melepaskannya. Sekuat tenaga kucoba sekali lagi, namun ibu tetap tak mau melepaskan tanganku.Akhirnya kusadari, ternyata ibu hendak membawaku ke gudang rumah.
            Aku masih belum tahu apa maksud ibu mengajakku ke gudang rumah. Tak lama kemudian, ibu membuka kain penutup yang selama ini menutupi sebuah sepeda yang sudah hancur tak karuan. Aku kaget melihat sepeda itu, sekaligus bertanya-tanya mengapa ibu menyimpan sepeda tersebut. Selama ini aku memang tidak pernah melihat sepeda itu, sebab ibu selalu menutupi sepeda tersebut dengan kain hitam. Aku sendiri juga tidak pernah mencurigai apa yang ditutupi oleh ibuku dengan kain hitam itu. 
            “Ibu, mengapa ibu memperlihatkan sepeda yang sudah hancur ini kepadaku?” aku mulai bertanya.
            “Ada sesuatu yang harus ibu ceritakan kepadamu. Sebelas tahun yang lalu, saat kamu baru berusia enam tahun, pertama kalinya kamu harus pergi karyawisata sekolah dengan teman-temanmu selama tiga hari. Kamu masih ingat kan, Dinda?” ujar ibu kepadaku.
            Aku mengangguk.
            “Hari itu kamu pulang sekitar jam tujuh malam dan ayah bersikeras untuk menjemputmu karena ia tidak bisa menahan rindu setelah tidak berjumpa denganmu selama tiga hari. Ibu sudah melarang dan mengatakan bahwa lebih baik kamu dititipkan dulu di rumah temanmu agar bisa dijemput esok paginya, tetapi ayahmu tetap saja bersikeras ingin menjemputmu pulang. Dan kamu tahu mengapa ibu melarang ayahmu?...”
            Ibu terdiam sejenak dan melanjutkan perkataanya. “Ayahmu memiliki penyakit rabun senja, Dinda. Seseorang yang memiliki penyakit rabun senja akan mengalami kesulitan untuk melihat di malam hari. Namun ayah yang bersikeras menjemputmu tidak mendengarkan perkataan ibu. Benar saja, hari itu ayah tidak melihat bahwa terdapat sebuah truk besar yang berjalan berlawanan arah dengan sepeda yang dikayuhnya. Ayah pun tertabrak dan kedua kakinya terlindas oleh truk tersebut. Itu sebabnya ayahmu kehilangan kedua kakinya,” ujar ibu sambil menangis dihadapanku.
            Aku benar-benar kaget mendegar cerita ibu.
            “Ibu, kenapa baru sekarang ibu menceritakan hal itu semua kepadaku? Kenapa ibu tidak menceritakannya sejak dari sebelas tahun yang lalu saat aku pulang ke rumah dan bertanya-tanya mengapa kaki ayah tiba-tiba hilang?” protesku kepada ibu.
            “Ayahmu yang melarang ibu menceritakan hal ini kepadamu. Ayah tidak mau kamu menyalahkan dirimu karena peristiwa yang menimpanya. Tetapi ibu sudah tidak bisa menutup-nutupi hal ini lagi darimu. Ibu tidak tahan dengan sikapmu kepada ayah. Apakah masih pantas kamu kerap kali mengatakan bahwa kamu malu dengan ayahmu dan tidak ada hal yang bisa kamu banggakan dari ayahmu?” ujar ibu.
            Aku langsung diam. Tercengang. Benar-benar kaget mendengar perkataan ibuku.  Tanpa berbicara lagi, aku pun langsung berlari pergi ke kamar ayah. Sesampainya di kamar ayah, aku segera memeluk dirinya sambil menangis dan berkata “Ayah..... Maafkan aku....” Berkali-kali aku mengatakan maaf kepada ayahku. Air mataku pun semakin deras membanjiri kedua pipiku.
            “Sudah-sudah, jangan menangis lagi, ayah paling tidak suka melihat anak ayah yang paling manis ini menangis. Tenang saja, seorang ayah tidak mungkin tega menolak untuk memaafkan putrinya sendiri yang sangat dicintainya,” ujar ayahku sambil mengusap-usap punggungku dalam pelukannya.
            Aku termenung. Ada sesuatu yang menyentuh relung hatiku, makna kehidupan. Ya, ada makna kehidupan yang dapat dipetik dari kisah aku dan ayahku. Tak seharusnya selama ini aku malu dengan kondisi ayahku. Keteduhan benar-benar terasa di hatiku, saat aku hendak memeluk ayahku.
            “Terima kasih, Tuhan. Engkau telah membukakan mata hatiku,” ucapku dalam hati. Aku sadar bahwa justru ayahku lah yang paling bisa dibanggakan di antara teman-temanku. Sampai saat ini, aku tidak pernah mendengar keluhan apapun yang keluar dari bibir ayahku mengenai kondisinya. Ia adalah ayah yang paling tegar dan benar-benar menyayangiku. Seharusnya aku menyadarinya jauh sebelum aku tahu tentang cerita ini.
            Sambil melepaskan pelukanku dengan ayah, aku bertanya kepada ayah, “Ayah, bolehkah aku mendeskripsikan ayah dengan lima kata?”
            “Tentu saja boleh,” kata ayahku sambil tersenyum.
            “Ayah adalah pahlawan terhebat bagiku,” kataku di sela isak tangisku.
            Ayah kembali tersenyum mendengar perkataanku dan mengusap tetesan air mataku yang tak kunjung reda. Dari cara ayah tersenyum, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Tanpa kusadari pula, ibu berdiri tepat di belakangku dan menyaksikan segala hal yang telah kukatakan kepada ayah. Ibu langsung memelukku.
            “Ibu senang, kamu akhirnya sadar,” ujar ibu sambil mengusap kepalaku.
            “Bu, aku juga ingin meminta maaf kepada ibu karena hari ini aku telah bersikap dan berbicara tidak sopan kepada ibu,” kataku.
            “Iya, nak. Ibu memaafkan kamu...” jawab ibu dengan suara pelan.
Hari itu benar-benar telah mengubah hidupku. Minggu depannya, aku pun tak ragu untuk menceritakan sosok ayahku yang patut kubanggakan itu di depan teman-teman sekelasku. Kabar baiknya, mereka pun ikut terharu dan tak pernah lagi mengolok-ngolok mengenai kondisi ayahku. Salah satu temanku bahkan menghampiriku dan berkata “Aku terharu mendegar ceritamu, Dinda. Ayahmu adalah pahlawan terhebat bagimu.” Aku tersenyum sendiri mendengar perkataannya, kuingat itu adalah lima kata yang kusampaikan kepada ayah ketika mendeskripsikan dirinya. Memang benar, AYAH ADALAH PAHLAWAN TERHEBAT BAGIKU.


Oleh :
Cecilia Indrawan
Sunter - Jakarta Utara

Salah satu karya dari Kategori 30 Terbaik

Related Posts :