Harga BBM diserahkan pada Mekanisme Pasar. Konstitusional atau Inkonstitusional?

 


(OPINI oleh BEM KM UGM)

Perekonomian sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Itulah mengapa dua frasa ini seperti sisi mata uang, mustahil terpisahkan. Maka kebijakan yang tidak tepat dalam mengurus BBM dan harganya, bisa berakibat fatal.
Kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM sesuai dengan harga pasar dunia menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Maka timbul pertanyan besar dalam benak kita, sesuai konstitusi-kah tindakan pemerintah ini, mengingat BBM masih menjadi salah satu faktor paling menentukan dalam hal kesejahteraan masyarakat?
Pasal 33 (3) UUD 1945, “Bumi air dan kekayan alam yang terkandung di dlaamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, PP No 30 /2009, UU pasal 28 (2) no. 22/2001 tentang Minyak dan Gas, mengutip istilah yang digunakan Prof. Sri Edi Swasono, UU yang suicidal society atau undang-undangnya masyarakat yang bunuh diri. Karena menerima liberalisasi pasar bebas dan neo-liberalisme.
Pemerintah telah melanggar konstitusi. MK membatalkan Pasal 28 (2) UU No. 22/2001 tentang migas, yaiu menyerahkan proses pemebntukan harga eceran bahan bakar minyak dalam negeri sepenuhnya kepada mekanisme pasar. MK telah membatalkan pasal 28 ayat (2) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang membuka jalan bagi liberalisasi harga BBM. Sebab, penentuan harga BBM diserahkan ke mekanisme pasar. Ironisnya, justru rezim Jokowi memutusan harga BBM berdasar mekanisme pasar.
Kwik Kian Gie, Menteri Perekonomian rezim Megawati mengatakan, Jokowi adalah residen pertama yang memberlakukan liberalisasi total seperti ini. Pertama sekali dalam sejarah Indonesia harga bensin untuk rakyat ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar.
Perpres No 191 /2014 tentang periodisasi penetapan harga BBM, bahwa waktu penetapan harga dapat dilakukan setiap 1 bulan atau apabila dianggap perlu lebih dari 1 bulan, dengan memperhitungkan perkembangan harga minyak, kurs, dan sektor riil. Pasal 33 UUD 1945, bumi air sebesarnya untuk kepentingan rakyat, haram hukumnya menyerahkan harga migas ke mekanisme pasar. Banyak rakyat yang akan ditindas jika ini diserahkan ke pihak bkan negara.
Privatisasi dan liberaliasi terhadap produk dan pelayanan publik.
70 UU Ekonomi disponsori dan didanai asing. Termasuk UU 22 /2001
Terjajah kalau penyupply bahan baku ke luar, bawa masuk lagi ke Indonesia ketika sudah diolah. Semangat sama, judulnya beda.
Dalam Pasal 33 UUD 1945 pra amandemen, “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi setiap orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak harus dikuasasi oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya”.
Rekomendasi: Nasionalisasi bisa jadi wacana solusi besar ke depan. Apakah yang dimaksud nasionalisasi itu? Telah menjadi fitrah, pemerintah memenuhi kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang menjadi cita-cita bangsa yang termaktub di dalam Preambul UUD 1945, bahkan dengan subsidi sekalipun. Ketika Pemerintah memutuskan mengakali istilah ini untuk menggambarkan Pemerintah menetapkan harga BBM karena putusan MK mengharuskan demikian penetapan harga sesuai harga pasaran, maka selayaknya kita sadar sebenarnya Pemerintah sedang berusaha menghilangkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dan pertanyaan besarnya adalah, dimanakah subsidi produktif yang dijanjikan sang presiden? Dapatkah kami mencium baunya?
Disinilah letak kesejahteraan rakyat menjadi berwujud. Jika rakyat masih mahal dengan listrik, bukan-kah berarti negara “menghilangkan” perannya untuk tugas mensejahterakan rakyatnya? Amanah konstitusi negeri ini juga dengan tegas menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Solusinya subsidi Pemerintah tetap harus ada, karena inilah bentuk tanggung jawab negara itu.
Kesejahteraan rakyat adalah cita-cita lahirnya bangsa ini. Namun jika Pemerintah saat ini tidak hadir untuk menjawab persoalan kesejaheraan ini, bukankah berarti ada yang salah? Kita hanya khawatir, urusan rakyat hanya menjadi bagian dari permainan kebijakan belaka agar menguntungkan segelintir pihak, atau bahkan hanya menjadi alat tawar politik balas budi.
“Didiklah penguasa dengan perlawanan" (Pramoedya Ananta Toer)
Hidup Mahasiswa Indonesia

Related Posts :