Nawacita berubah menjadi DUKA CITA

bembsi.org | Sejak pelantikan presiden wakil presiden terpilih Jokowi dan Jusuf kalla berjalan. Tentu kita tidak lupa euforia dan janji besar pemerintahan ideal oleh mereka.
Yang pada kemudian kita kenal sebagai “Nawacita”, sembilan agenda perubahan bangsa Jokowi-JK.


Ditengah perjalanannya, pemerintahan tidak berjalan mulus. Banyak hal yang kontradiktif dengan janji pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan jika ditilik secara kritis, terlihat hanya “rapor merah” dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Nomor wahid dari Nawacita, “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”. Mari sejenak kita ingat. Bentrokan TNI vs Polri di Batam tepat 30 hari setelah Jokowi resmi menjadi presiden, jelas menimbulkan kerugian materil dan immateril. Acapkali peristiwa seperti ini terjadi seakan rutinitas “egoisitas” gengsi TNI-Polri. Belum lagi kasus pelanggaran HAM berupa penembakan 8 orang di Paniai, Papua. Pertanyannya, bagaimana negara akan memberikan rasa aman jika aparatur negara justru menjadi bagian dari memberi rasa tidak aman bagi warga negara? Dan Jokowi tidak hadir untuk mengambil sikap tegas-nyata untuk menyelesaikan hal ini.
Agenda Proritas Nawacita berikutnya, “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Tentu tidak perlu jauh-jauh melihat relita hal ini. Pengajuan calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan yang oleh KPK statusnya telah menjadi tersangka korupsi tentu menimbulkan pertanyaan besar. Jika memang Jokowi-JK ingin mewujudkan reformasi pemerintahan dan penegakan hukum yang lebih baik, maka logika yang bisa diterima ialah, tidak menjadikan ia yang statusnya tersangka sebagai calon Kapolri hingga ada kepastian hukum apakah terbukti bersalah atau tidak. Anehnya lagi, KPK sudah memberikan peringatan kepada Jokowi tentang rekam jejak Komjen Budi Gunawan. Polisi dengan rekening gendut tetapi tetap saja peringatan ini tidak digubris oleh Jokowi. Tentu juga masih kental dalam ingatan kita perihal pengangkatan Jaksa agung dari unsur partai politik, padahal Jokowi sudah berjanji tidak akan mengangkat Jaksa Agung dari unsur partai politik. Bukankah hal ini akan sangat mencederai penegakan hukum seperti dibidang korupsi mengingat betapa merajalelanya korupsi di tubuh partai politik? Mustahil rasanya mewujudkan ini jika pengangkatan pejabat aparatur negara masih menjadi agenda politik “bagi jatah”, bukan benar-benar mewujudkan pemerintahan yang bermartabat dan terpercaya. Dengan ini, sulit rasanya mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya sebagaimana dengan gamblang telah disebutkan Jokowi dalam Nawacita-nya.

Masih simpang siurnya kurikulum pendidikan yang digunakan bagi anak didik pun menjadi problema besar. Tujuan untuk “melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kurikulum pendidikan nasional”-pun isapan jempol semata. Belum ada langkah konkrit untuk menjawab kebutuhan krusial ini sehingga yang hadir justru kebingungan bagi dunia pendidikan. Lebih jauh jika kita melihat di awal pembentukan kabinet, Jokowi menjanjikan kabinet ramping. Realita kebinet tetap saja gemuk, kabinet tetap saja berjumlah 34 kementerian dan tidak terlepas dari paradigma “bagi-bagi jatah” menteri. Dari total 34 kementerian, 18 menteri diambil dari kalangan profesional dan 16 menteri dari kalangan partai politis. Namun hasilnya, dapat kita simpulkan menteri dari unsur partai politik hanya wadah untuk memperkuat hegemonitas partai pendukung, tak lebih dari itu. Menteri tidak lagi dipilih berdasar kapabilitas dan kredibilitas, menteri lahir dari lobi-lobi politik antara koalisi partai pemenang. Lagi-lagi janji-janji Jokowi-JK hanya ibarat pemanis mulut belaka, tujuan untuk membentuk pemerintahan yang efisien hanya sekedar angin.

Di bidang ekonomi, tentu BBM masih hangat kita perbincangkan. Kebijakan menaikan harga BBM tentu ikut berdampak pada kenaikan harga barang yang secara langsung memberi dampak pada daya beli masyarakat. Memang sempat harga BBM kemudian diturunkan, tetapi justru harganya dikembalikan pada mekanisme pasar. Kekecewaan atas pemerintahan Jokowi JK menjadi bertambah dengan adanya pemberian pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus, terdakwa kasus pembunuhan Munir yang terjadi 10 tahun lalu. Mengingat Munir seorang aktivis HAM, maka pembebasan bersyarat Pollycarpus merupakan penistaan terhadap rasa keadilan masyarakat yang begitu menunggu agar hukum tegak di bumi Indonesia. Dan banyak hal yang acapkali berujung pada sebuah pertanyaan, “Benarkah pemerintah benar-benar serius melunasi janji-janjinya?”.

“Jauh panggang dari api”, itulah lebih kurang peribahasa yang mampu menggambarkan pemerintahan Jokowi JK saat ini. Idelita dan tujuan awal pemerintahan yang coba dibangun, diusianya yang ke seratus hari, nyatanya berbunyi alarm kegagalan. Hari ini menjadi representasi kepemimpinan Jokowi JK yang sebetulnya “sama saja”. Mustahil rasanya mewujudkan Indonesia yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana janjinya. Pemerintah hanya berdasar pada ketundukan partai dan koalisi, bukan pada cita luhur bangsa, apalagi rasa keadilan dan kesejahteraan sebagaimana Nawacita kosongnya yang pada akhirnya NAWACITA kini menjadi DUKACITA !!!

Dikaji oleh BEM KM UGM

Related Posts :